Skip to main content

Saya Hanya Hafal Al Fatihah

Pantaslah seorang sahabat menjuluki saya sebagai muallaf. Bayangkan, hampir sepuluh tahun saya meninggalkan agama dengan tak bersembahyang! Jangan heran jika ketika memulai lagi aktivitas lima kali sehari ini saya kehilangan ingatan akan hafalan-hafalannya.

Hitung-hitung, hanya ada tiga surat pendek Al Quran yang masih melekat di kepala; al fatuhah, an nas, dan al ikhlas. Selebihnya raib. Padahal seperti juga anak kecil di satu kampung tempat saya tumbuh, kami pergi ke madrasah bareng. Belajar mengaji dan menghapal belasan hingga puluhan surat-surat pendek kitab suci. Hingga SMA pun, saya masih mendapat tugas untuk menghafal beberapa surat, kali itu yang lebih panjang.

Saya teringat ketika masih terbaring di rumah sakit karena malaria, tiba-tiba saya dihampirmatikan oleh Allah. Saya membuat perjanjian, jika Allah dapat membatalkan 'kematian' saya, saya akan bertobat. Doa saya dikabulkan. Hal pertama yang ingin saya lakukan saat itu adalah sembahyang. Ketika wudhu sudah membasuh tubuh dan saya siap sembahyang, saya panik karena tak satu pun bacaan masih dapat saya ingat.

Beberapa sahabat yang hadir waktu itu membimbing. Namun karena mereka ikut panik juga, mereka ikut lupa. Saya sering geli sendiri jika mengingat kejadian itu. Seorang sahabat ada yang berinisiatif untuk menelpon sahabat lain di luar sana. Maka, dengan ala kadarnya, sembahyang Isya saya akhirnya bisa komplit. Itulah awal saya kembali 'berkenalan' dengan hidup yang berketuhanan.

Sejak saat itu, alhamdulillah saya tak lagi berani meninggalkan kewajiban bersembahyang. Rasanya, sesuatu hal buruk akan segera menimpa saya jika saya lalai. Saya selalu ketakutan saya akan 'berpulang' di antara waktu yang seharusnya saya sembahyang padahal saya lalai. Saya ingin jika pun 'berpulang' nanti hanya setelah saya menyelesaikan urusan saya di dunia. Padahal bagi saya, urusan terpenting di dunia yang harus saya selesaikan adalah segera bersembahyang jika waktunya tiba.

Saya masih memiliki buku 'tuntunan shalat'. Sudah tua dan berdebu. Kembali saya membukanya, menghapal, dan terus menghapal. Buku saya buka lebar di samping sajadah. Sambil berdiri, sambil sujud, sambil ruku, sambil duduk, saya terus membolak-balik halaman buku itu. Alhamdulillah, pelan-lelan saya akhirnya bisa menghapalnya. Saya mulai percaya diri untuk keluar rumah, bersembahyang di manapun saya berada jika waktunya datang.

Saya mulai bosan dengan hanya An Nas dan Al Ikhlas saja di ingatan. Sesuai dengan kebutuhan saya untuk melakukan sembahyang lain selain wajib, saya pun mulai menghafal surat-surat lainnya. Satu per satu satu baca, saya hafalkan. Makin tua, serasa makin tumpul saja otak. Makin susah menghafal.Saya mulai dari nol lagi. Mengingatkan pada usia belia di mana bersama sahabat-sahahabat berguru di madrasah menghafal satu surat ke surat lainnya.

Jika Anda hafal lebih banyak surat dari yang saya hafal sekarang, mengapa hanya diingat dalam hati saja tanpa cemas ingatan Anda akan berkurang seiring waktu? Ayo, ambil sajadah. Jangan biarkan mereka tertimbun dan terlupakan. Sebelum waktu sembahyang lainnya datang. Sebelum Anda dikhilafkan. Sebelum dipikunkan. Sebelum dipulangkan.

[jika tulisan di atas terkesan takabur dan menggurui, maafkan.]
Adey, terima kasih fotonya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.