Skip to main content

Saya Ingin Berketurunan

Manusia tak pernah puas. Saya juga manusia. Saya berdoa kepada Allah agar diberi kekasih, Ia berikan satu. Saya berdoa agar tak perlu berlama-lama kami pacaran karena niat kami sudah bulat untuk hidup bersama, Ia nikahkan. Setelah menikah, doa-doa saya berganti topik. Salah satunya adalah agar dapat keturunan.

Suatu siang, saya berkumpul dengan sejumlah sahabat. Mereka adalah isteri-isteri berusia muda yang hampir satu dua tahun menikah. Gelisah belum memiliki tanda-tanda akan datangnya kehamilan. Tentu saja, mereka tak hanya membahas usaha dan kisah-kisah milik mereka berdua saja. Mereka juga menghadirkan kasus yang dialami oleh sahabat-sahabat mereka lainnya, untuk melengkapi diskusi. Saat itu saya hanya menjadi pendengar setia. Sekali-sekali bertanya.

Mulai dari pemeriksaan fisik hingga psikis. Momok pertama para perempuan usia thirty something adalah tumbuhnya kista pada organ kewanitaan. Saya teringat beberapa sahabat perempuan saya memiliki ini. Kista ada yang berbahasaya dan harus dibuang, ada yang boleh dibiarkan saja karena dapat hancur ketika melahirkan. Nah, karena proses melahirkan saja tak jelas kapan akan terjadi, kista ini mesti diwaspadai terus.

Kasus lain, ternyata jarak rahim seorang perempuan bisa sedemikian jauhnya dari organ kewanitaannya. Sehingga sperma yang disemburkan oleh pasangannya, bisa tak sampai ke rahim. Hati-hati, toksin karena bulu binatang yang terhidup oleh kita juga dapat menghalangi maksud hati berketurunan.

Dokter kandungan yang memeriksa sahabat saya bilang. "Jaman sekarang, 60% perempuan baru dapat hamil setelah dua tahun menikah." Dokter itu menambahkan, selain kesehatan fisik masing-masing pasangan, faktor psikis juga memberikan andil: pressure keluarga agar segera mendapat momongan, kualitas hubungan dengan mertua apalagi jika masih tinggal di Pondok Mertua Indah, dan lainnya.

Saya sangat cemas. Sahabat saya yang membaca kekuatiran saya berujar. "Alah, baru kawin kemarin udah kuatir banget. Santai aja." Iya, saya akan santai.

Jika waktu terus berlalu dan pasangan saya pun belum memiliki tanda-tanda akan segera hamil, saya pun sepertinya perlu berkemas. Entah ke dokter, entah apa. Namun sambil menunggu waktu itu tiba, tak ada salahnya saya berusaha mulai dari sekarang. Saya memang ingin cepat berketurunan, tapi tak ingin tergesa. Manusia berusaha, Tuhan juga yang menentukan. Saya perbanyak memproduksi doa saja untuk saat-saat ini.

Maka ketika meminta jodoh, di setiap habis sembahyang, di setiap puncak malam, doa saya berbunyi demikian:

Ya, Allah
Seperti janji-Mu kepada semua makhluk
Mohon berikan jodoh terbaik bagi saya
Jika tidak ada, adakan
Jika masih jauh, dekatkan
Jika susah, mudahkan
Engkau Mahamendengar, Mahaberkuasa
Mohon kabulkan doa saya

Sekarang, di setiap habis sembahyang, di antara sepertiga akhir malam, kami berdoa:
Ya, Allah
Mohon berikan keturunan kepada kami
Jika tidak ada, adakan
Jika masih jauh, dekatkan
Jika susah, mudahkanEngkau Mahamendengar, Mahaberkuasa
Mohon kabulkan doa kami

Amin.

[Yandi, terima kasih fotonya]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.