Skip to main content

The Story of 'Kejadian'

Kecelakaan yang merenggut nyawa Taufik Savalas mengagetkan banyak pihak. Seorang sahabat menghubungi saya apakah saya akan menulis tentang sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa itu. Saya nyatakan tidak. Namun sepertinya saya perlu berubah pikiran. Saya ingin menulis sesuatu. Tapi tentu saja tak berhubungan dengan komedian itu karena saya tak mengenalnya.

Beberapa hal seolah sinkron dengan sejumlah peristiwa yang menimpa orang-orang di sekitar saya akhir-akhir ini: issue kematian. Seorang sahabat bercerita jika ibu mertuanya yang sudah sepuh, sering mengalami halusinasi dikunjungi dan dikelilingi banyak orang. Cerita ini mengingatkan pada sebuah tulisan yang sehari sebelumnya saya baca. Tentang kejadian mirip yang dialami oleh Nurcholis Madjid, tokoh nasionalis kita. Sebelum wafatnya, ia beberapa kali bercerita pada isterinya. Ia menerima kunjungan dari orang-orang yang telah meninggal. Salah satunya adalah bekas gurunya sewaktu di pesantren.

Seorang sahabat lain yang sudah beberapa hari ini sakit mengirim pesan pendek. Ia takut. Saya berasumsi jika yang ia takutkan adalah kematian itu. Saya jawab, mestilah takut.

Ada beberapa jenis kejadian yang biasa terjadi pada kita:1. Kejadian yang kita harapkan. Lalu kejadian itu terjadi dan kita mengalaminya. Maka apa yang kita rencanakan dan harapkan, telah Tuhan ijinkan terjadi. Kejadin ini bisa dalam kurun waktu yang cepat maupun lama. Umumnya kita selalu berharap kejadian-kejadian yang terjadi adalah kejadian-kejadian yang baik, indah, sesuai dengan harapan.

2. Kejadian yang kita tidak harapkan. Sebisa mungkin kita selalu berusaha menghindar dari kerjadian-kejadian yang kita tidak harapkan. Kejadian-kejadian ini umumnya kita nilai tidak indah, tidak baik, menyusahkan, menyesngsarakan. Entah datangnya cepat maupun lambat, kita tak pernah ingin kejadian-kejadian yang tidak kita harapkan terjadi pada kita.

Namun kejadian yang kita tidak harapkan tidak selalu tidak indah. Jika benar halusinasi yang dialami oleh ibu mertua sahabat saya di atas adalah sebuah pertanda bahwa beliau akan segera berpulang, maka kejadian yang tidak diharapkan bukanlah sesuatu yang tidak indah. Bersyukurlah beliau dan keluarganya diberi isyarat sehingga masih memiliki waktu untuk menyelesaikan berbagai urusan dunia yang belum selesai.

Mestinya rasa takut akan kematian yang dialami oleh sahabat saya yang sedang sakit itu adalah sesuatu yang indah juga. Karena takut itulah maka dia perlu bertobat.

Padahal tak satu pun dari kita sekalipun pernah siap untuk mati. Maka janganlah sekali-sekali menantang kematian. Setiap saat kita menjadi pendosa karena indera dan semua organ tubuh kita tak luput melakukan dosa. Lalu mengapa kita tak pernah waspada untuk terus mengingat-Nya?

Bagaimana jika peristiwa yang dialami oleh Taufik Savalas kita alami juga sementara kita tak punya secuil tabungan pahala pun yang dapat menyelamatkan kita dari pengadilan hari akhir?
[Untuk Dina, semoga ibu mertuamu segera disembuhkan jika memang belum saatnya buat beliau untuk pergi. Namun jika Allah memang sudah menentukan waktunya, semoga semuanya terjadi dalam kebaikan.

Untuk Yeyen, lekas sembuh, ya]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.