Skip to main content

What Do You Wanna Be?

Apakah Anda thirty or thirty something? Fourty or fourty something? Apakah menjadi seseorang seperti Anda sekarang sudah menjadi yang Anda harapkan?

Seorang sahabat sudah sejak awal karirnya yakin untuk menjadi pengrajin keramik. Sahabat lain, menyimpan rapi titel insinyur ITB-nya karena ia lebih enjoy menjadi guru salsa. Proses penemuan kadang berliku dan perlu pengorbanan.

Sejujurnya, saya masih mencari tahu, saya ini harusnya menjadi apa. Sahabat saya bilang, kita lahir ke dunia dengan sebuah tujuan. Kita perlu tahu tujuan itu. inilah rahasia hidup. Jika hingga mati kita belum tahu juga untuk apa kita hidup, pada kehidupan berikutnya kita akan terus dituntut untuk menemukan jawaban.

Sejauh ini saya masih percaya akan proses reinkarnasi yang akan dijalani semua makhluk hidup. Saya ingin, sekali mati, sudahlah. Naik ke level berikutnya, menuju Negeri Cahaya dimana hanya orang-orang yang dikehendaki saja yang bisa menempuhnya. Saya tak ingin urusan dunia menghalangi jalan saya menuju ke sana. Maka saya terus bertanya. Apakah saya harusnya bekerja di bidang sosial? Apa perlu menjadi kapitalis? Seniman? Pendakwah?

Terlepas dari apakah ada kehidupan setelah kehidupan, mencari jati diri dan tujuan hidup sebenarnya memang penting. Jika kita telah menemukan, kita akan hidup lebih tenang. Lebih khusu.

Profesi yang kita tekuni, akan menuntut gaya hidup atau sebaliknya, gaya hidup akan menuntun profesi kita. Sebelum bekerja pada sebuah production house seperti sekarang, saya bekerja pada sebuah pabrik. Ketika sisi kreativitas dalam diri saya tak bisa di bendung lagi, saya lalu memutuskan untuk keluar dari pabrik. Saya ingin ganti path.

Saya sangat tertarik hal-hal yang berhubungan dengan seni. Banyak sahabat yang menganjurkan, seharusnya saya menjadi seniman saja. Bersyukur kemudian bisa masuk ke sebuah production house. Saya mengerjakan banyak hal dengan gembira. Namun ketika satu per satu pekerjaan selesai dibuat, pertanyaan saya masih belum terjawab. Masih, sepertinya ada yang belum lengkap. Apakah ini terminal saya? Saya merasa belum menemukan diri saya yang sesungguhnya. Saya pernah bercita-cita untuk menjadi penulis. Pergi mengembara sambil menulis. Itu mungkin akan saya lakukan, tapi tidak sekarang. Ada bagian 'sekarang' yang masih perlu dijalani. Namun apa, saya belum tahu.

Manusia memang tak pernah puas. Namun saya tak mau terjebak karena tak ingin masuk dalam kelompok 'tak pernah puas'. Yes, saya memang belum puas dengan apa yang saya dapat. Sungguh, saya sangat bersyukur dengan apa yang pernah dan kini saya raih. Kita mesti sepakat, bahwa ketidakpuasan sangat beda dengan perilaku bersyukur.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.