Skip to main content

Bye Bye Tarot

Saya memiliki kebiasaan baru: naik bis! Banyak rupa pengalaman yang saya peroleh selama perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satunya adalah pengamen dakwah. Pada rute dan sekitar waktu yang sama, 'pendakwah' ini berdiri lama di atas bis berpidato layaknya para ulama di mimbar-mimbar mesjid. Kira-kira tiga kali ia menemani perjalanan saya. Suaranya keras, tegas.

Tiap pertemuan topiknya berbeda. Sekali-sekali ia mengutip ayat-ayat suci Al Quran. Sahabat saya yang biasanya jalan bareng, berkomentar: "Dakwah kok, untuk cari uang." Saya heran juga, mengapa ia tak berkarir dari mesjid ke mesjid saja.

Namun belakangan saya sudah jarang bertemu dia. Terakhir yang saya ingat, dia menggunakan pakaian yang sungguh nyentrik jika dihubungkan dengan pekerjaannya sebagai pengamen dakwah. Pakai topi haji warna gelap, kaos polo berukuran besar, celana denim ketat warna merah tua, dan sepatu casual sewarna denimnya.

Saya sangat ingat mengenai isi pidato terakhirnya. Ia membahas perihal orang-orang yang suka meramal: tak akan diterima ibadah sholatnya selama 40 hari bagi orang-orang yang suka pergi ke tukang ramal.

Saya berdiskusi dengan seorang sahabat. Sahabat saya pun mengutip hadis yang sama. Saya lalu browsing di internet. Hadis yang saya temui pun berbunyi kata-kata yang sama.

Diam-diam saya membulatkan tekad. Saya akan berhenti membaca tarot. Saya tak mau ibadah saya sia-sia karena sebuah kesalahan yang saya buat. Saya juga tak mau menjerumuskan orang-orang yang minta bantuan saya. Padahal yang saya lakukan murni ingin menolong, tanpa dipungut biaya sepeser pun.
Sejujurnya, agak berat melepas 'kegiatan' membaca kartu tarot ini. Saya merasa kemampuan ini bermanfaat sekali untuk membantu banyak orang. Saya seperti menjadi seorang konsultan ketika seseorang bertanya mengenai berbagai masalah yang dihadapi dan bagaimana menemukan solusinya.

Saya juga masih menganggap bahwa sepertinya ada maksud tertentu dari Tuhan mengapa saya diberi keahlian ini. Saya tak pernah berharap, tak pernah belajar, tak pernah tertarik sebelumnya pada urusan yang berhubungan dengan kartu tarot. Tiba-tiba saja bisa.

Maka dalam kebimbangan ini, saya putuskan untuk menutup dulu semua kartu tarot yang saya punya. Well, sekarang saya memiliki empat set kartu tarot dengan berbagai versi. Tak apa, saya simpan. Dari Allah datangnya kebiasaan ini, maka saya kembalikan kepada Allah pula. Sambil menunggu petunjuk lain. Tokh jika niatnya memang untuk menolong orang yang dalam kesusahan, masih banyak cara untuk melakukannya, tanpa kuatir akan kehilangan pahala beribadah.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.