Skip to main content

Foke Disambut Gempa


Kemenangan Fauzi Bowo atas Adang Daradjatun dalam Pilkada Langsung DKI Jakarta disambut dengan gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter. Luar biasa, bagaimana semesta menyambut suka cita Foke dan pendukungnya ini.

Saya bukan pemilik KTP Jakarta. Saya merasa beruntung karena tidak perlu terlibat dalam urusan coblos-menyoblos. Masalahnya, tak ada calon yang memenuhi kriteria saya. Seperti biasanya, mungkin saya akan golput. Namun, seorang ustadz yang dakwahnya pernah saya lihat di layar tv, tetap menyarankan untuk pergi ke tempat pemungutan suara. "Pilihlah yang terbaik di antara yang kurang baik." Ustadz tersebut menjawab sebuah pertanyaan dari seorang pemirsa. Saya menduga bahwa pemirsa tersebut kala itu sedang bingung memilih apakah Foke yang begitu atau Adang yang begitu juga.

Saya meramalkan kepemimpinan Foke akan mendapat banyak masalah. Selain dari musibah alam yang sulit dikendalikan dan makin tak terkendalikan, pun rongrongan dari para pendukungnya sendiri. Semua pihak ingin mendapat perhatian dari Foke. Foke akan sibuk melayani para pendukungnya ini dari pada bekerja untuk semua kalangan.

Para rasionalis akan berpikir bahwa gempa bumi tak ada hubungannya dengan kemengangan Foke atau apapun. Namun kaum supranaturalis akan bicara it does.

Gempa yang terjadi beberapa menit setelah melewati tanggal 8 Agustus 2007, sepertinya akan terulang dalam waktu dekat dengan pusat gempa yang akan bergeser ke arah barat. Seperti sebuah cobaan untuk menyemangati Foke agar bekerja lebih baik lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.