Mestinya saya punya hubungan baik dengan Bapak. Tapi saya terlalu 'membalas' kekakuan Bapak. Hubungan kami jadi aneh. Saya menilai mestinya Bapak yang membuat hubungan bapak-anak menjadi mesra, bukan saya. Mestinya ia tak perlu terlalu sok menjadi seorang bapak sehingga semuanya mesti ia yang mengatur, ia yang memutuskan. Ia tak perlu menjadi sok melindungi, sok memilihkan.
Beberapa tahun setelah meninggalnya Bapak, saya baru berpikir. Mengapa bukan saya saja yang mengalah? Mengapa bukan saya saja yang berinisiatif memulai semua percakapan? Tanya tentang apa saja. Bisa yang serius atau sekedar basa basi. Misalnya: Apakah air irigasi lancar? Kapan panen okra lagi? Bagaimana harga pupuk sekaran? Apa kabarnya Oom Anwar, ya? Kapan terakhir ke dokter, perlu diantar untuk medical check up? Bla bla bla.
Saya tak lagi punya kesempatan bermanis-manis seperti itu terhadap Bapak. Tak akan pernah lagi. Tinggal Ibu yang kini menjadi orang tua. Saya tak mau penilaian saya kembali salah bahwa seorang ibu mestinya begini-begitu. Bukan itu yang menjadi persoalan. Saya perlu berpikir terbalik. Mestinya saya yang harus begini-begitu terhadap Ibu. Saya tak mau menyesal untuk kedua kali.
Lalu, didatangkanlah seorang perempuan untuk melengkapi hidup saya. Ialah isteri. Saya tak pernah memilih ia menjadi isteri kecuali Allah yang menentukan demikian. Saya merasa tahu betul bahwa tak mudah mendapatkan seseorang untuk dinikahi kecuali Allah yang memudahkan. Lalu atas alasan apa saya sampai perlu menyia-nyiakan dia?
Tak ingin semuanya menjadi penyesalan. Saya ingin hidup saya, saya isi dengan pengabdian terhadap semua orang. terhadap Ibu yang selalu baik menjadi Ibu, Isteri yang selalu menjadi Isteri, sahabat yang selalu menjadi sahabat.
Comments