Skip to main content

For A Reason, for A Season, Forever

Mestinya saya punya hubungan baik dengan Bapak. Tapi saya terlalu 'membalas' kekakuan Bapak. Hubungan kami jadi aneh. Saya menilai mestinya Bapak yang membuat hubungan bapak-anak menjadi mesra, bukan saya. Mestinya ia tak perlu terlalu sok menjadi seorang bapak sehingga semuanya mesti ia yang mengatur, ia yang memutuskan. Ia tak perlu menjadi sok melindungi, sok memilihkan.

Beberapa tahun setelah meninggalnya Bapak, saya baru berpikir. Mengapa bukan saya saja yang mengalah? Mengapa bukan saya saja yang berinisiatif memulai semua percakapan? Tanya tentang apa saja. Bisa yang serius atau sekedar basa basi. Misalnya: Apakah air irigasi lancar? Kapan panen okra lagi? Bagaimana harga pupuk sekaran? Apa kabarnya Oom Anwar, ya? Kapan terakhir ke dokter, perlu diantar untuk medical check up? Bla bla bla.

Saya tak lagi punya kesempatan bermanis-manis seperti itu terhadap Bapak. Tak akan pernah lagi. Tinggal Ibu yang kini menjadi orang tua. Saya tak mau penilaian saya kembali salah bahwa seorang ibu mestinya begini-begitu. Bukan itu yang menjadi persoalan. Saya perlu berpikir terbalik. Mestinya saya yang harus begini-begitu terhadap Ibu. Saya tak mau menyesal untuk kedua kali.

Lalu, didatangkanlah seorang perempuan untuk melengkapi hidup saya. Ialah isteri. Saya tak pernah memilih ia menjadi isteri kecuali Allah yang menentukan demikian. Saya merasa tahu betul bahwa tak mudah mendapatkan seseorang untuk dinikahi kecuali Allah yang memudahkan. Lalu atas alasan apa saya sampai perlu menyia-nyiakan dia?

Tak ingin semuanya menjadi penyesalan. Saya ingin hidup saya, saya isi dengan pengabdian terhadap semua orang. terhadap Ibu yang selalu baik menjadi Ibu, Isteri yang selalu menjadi Isteri, sahabat yang selalu menjadi sahabat.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.