Skip to main content

Hanoi, Eventually

Ketika saya tanya dokter kandungan apakah aman membawa isteri saya yang sedang hamil muda terbang? Dokter bilang aman saja. Asal dipastikan bahwa kandungannya kuat. Tapi ia sendiri tak memberikan lampu hijau. Namun begitu, ia memberikan obat penguat kandungan.

Kami merencanakan bulan madu ke Vietnam pertengahan Agustus ini, setelah lima minggu pernikahan. Tapi siapa duga, belum juga pergi, isteri saya sudah dinyatakan positif hamil. Tentu saja kami sangat bersyukur. Namun dampaknya kami perlu mempertimbangkannya terus.

Isteri saya menyatakan tidak akan ikut. Karena isteri tak ikut, saya pun memilih membatalkan trip saja. Dalih saya, susah senang kami akan bersama. Dan lagi, kesempatan trip ke Hanoi atau kemana pun, bisa kami lakukan kapan saja. Tapi kesempatan memiliki bayi, tak bisa kapan saja. Kami sepakat untuk tidak pergi.

Beberapa sahabat yang mendengar kabar ini ikut prihatin, namun tak bisa berbuat apa. Sebagian dari mereka menganjurkan tetap pergi karena kemungkinan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sangat kecil sekali. Aplagi katanya, kehamilan isteri tak disertai gejala morning sick. Menunjukkan bahwa kandungannya tak mengkuatirkan. Ibu saya memberi dorongan agar kami tak perlu risau juga.

Sejujurnya, saya sangat ingin pergi. Bayangkan, saya menginginkan trip ke negeri ini sejak beberapa tahun lalu. Saat itu Vietnam masih tertutup. Saya sampai menghubungi kedutaan Vietnam di Jakarta. Kata mereka, saya harus memiliki surat ijin khusus, bukan sekedar visa. Situasi politik berubah, turis boleh masuk tanpa visa. Nah, baru tahun ini kesampaian. Airasia yang memungkinkan keinginan saya terwujud, gratis. Karena Januari itu saya masih single, saya hanya pesan tiket sendiri. Tak masuk dalam rencana jika di awal semester kedua tahun ini saya menikah. Lalu saya tambahkan satu tiket lagi untuk (calon) isteri. Sayangnya, saya harus merogoh kantung sangat dalam. Tapi tak apalah.

Seorang sahabat yang mendengar pengaduan saya menganjurkan agar saya shalat istiarah. Ah, mengapa saya sampai lupa? Saya memiliki kebiasaan sembahyang malam. Tahajud ternyata masuk dalam kategori shalat istiqarah. Saya tinggal memanjatkan doa saja. Minta petunjuk Allah, jika kepergian saya dan isteri adalah kebaikan, maka mudahkan.

Pergi boleh, tidak pergi pun saya sudah siap. Saya sudah menghubungi kantor Airasia. Tiket sama sekali tak bisa dialihnamankan dan diuangkan. Kecuali digeser waktu dengan tambahan biaya ini itu. Saya sudah sangat siap kehilangan tiket itu.

Sehari sebelum tanggal keberangkatan, isteri saya bilang, ia siap pergi. Saya menahan emosi agar tak terlalu kegirangan. Bagi saya, itu adalah jawaban atas doa-doa saya. Dan semuanya begitu mudah.

Ya, Allah. Terima kasih atas rezeki yang engkau curahkan hingga kami bisa melakukan perjalanan ini. Terima kasih Engkau telah ijinkan. Mohon ridho-Mu. Mohon Lindungan-Mu.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.