Skip to main content

A Lesson Named Vietnam

Traveling ke luar negeri telah menjadi agenda tahunan saya. Bahkan kadang setahun bisa dua kali. Bukan karena banyak uang seperti banyak orang sangkakan. Kalau sudah menjadi kebutuhan, siapa pun akan setuju bahwa kebiasaan ini memang perlu terus dilakukan. Bukan traveling dengan gaya kelas atas, cukup backpacking. Jika dibandingkan dengan turis-turis di Jakarta, tak jauh seperti yang terlihat di Jalan Jaksa. Perjalanan yang penuh dengan kesederhanaan.

Seringnya pergi sendiri. Pernah pergi berdua dengan sahabat, pernah pergi dengan banyak sahabat. Namun sendirian memiliki kemerdekaan yang berbeda. Lebih sedap. Lebih pol. Namun kali ini saya pergi tidak sendiri. Saya memilih istri saya sebagai travelmate.

Saya bukan menikahi seorang polwan dengan segala kecekatannya. Saya bukan menikahi seorang pecinta wisata alam yang selalu siap dengan segala cuaca dan kondisi. Bersama para perempuan yang pada tahun-tahun terakhir ini telah menjadi sahabat yang amat diandalkan, yang pernah melewati badai hujan badai angin di puncak-puncak gunung, tersesat di belantara dengan bekal seadanya, jurang curam bukit cadas, ombak menggulung petir menggelegar, terik menyengat dingin mengiris... Bersama sahabat-sahabat perempuan perkasa yang siap mati kapan pun di mana pun.

Perempuan yang saya nikahi, beda. Maka, saya menempatkan diri saya pada titik nol, membasmi ego sehabis-habisnya, dan menjunjung respek setinggi-tingginya. Dengan cara ini, saya harapkan tak akan ada perselisihan yang dapat merusak suasana. Saya tak mau acara jalan-jalan yang seharusnya fun ini, menjadi bolong-bolong oleh mood yang tak terbina dengan baik. Di atas segalanya, saya sangat berniat membangun hubungan yang seharmonis-harmonisnya. Tak saja selama perjalanan ini, tapi juga untuk kemudian dibawa ke Jakarta.

Hampir seminggu saya dan isteri berada jauh dari rumah. Saya yang merencanakan, Istri yang membuatnya kejadian. Vietnam ibaratnya medium yang memberikan berbagai ujian. Vietnam bukan negeri segala ada. Serba adalah ala kadarnya, serba darurat. Berkomunikasi dengan masyarakatnya susah, mencari makanan halal susah, jalanan pun menjadi ancaman setiap saat saking semrawutnya.

Tersesat, telat makan, kehabisan mata uang lokal, panas, salah naik bis. Romantisme yang tak ternilai harganya. Namun kami sangat senang melakukannya. Vietnam betul-betul memberi banyak pelajaran hidup buat kami. Pelajaran yang membuat masing-masing dari kami saling jatuh cinta setiap saat.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.