Skip to main content

Lirikan Si Buta

Kerap kali kita menjuluki orang lain dengan ciri-ciri fisik yang mereka miliki: Pitak, Panjul, Gendut, Gepeng, Pesek, Item, Dekil, Kucai, Kribo, Bule, Bencong, Pincang, Jereng, Jenong, Ginong, Petet. Bahkan ada seorang sahabat yang karena sudah sangat besar tak juga disunat kami namai Si Kulup.

Atau memplesetkan nama-nama sahabat kita menjadi sebuah nama baru yang menurut kita lucu. Apalagi jika ditambah dengan sifat-sifat atau tindakan konyol yang pernah dilakukan atau terjadi oleh sahabat kita itu. Rinjud: Rini Judes, Ema Pelit, Suteja: Suka Tete Janda, Santi Suge: Susu Gede.

Atau kita memanggil mereka dengan nama orang tuanya.

Seusia sekarang, saya betul-betul menghindari tindakan-tindakan yang mungkin bisa berdampak buruk bagi diri saya sendiri maupun orang lain. Saya masih sering mendengar, entah untuk lucu-lucuan, enatah untuk mengakrabkan diri, entah sengaja untuk menyakiti perasaan, beberapa dari sahabat saya memanggil sahabat lainnya tidak dengan nama sesuangguhnya.

Waktu kecil saya melakukannya. Saya pelaku sekaligus korban. Hampir semua sahabat saya melakukannya.Mereka pelaku, mereka juga korban. Hal ini terjadi dari mulai di lingkungan rumah, sekolah dasar, menengah, hingga SMA. Kami ingin bersenang-senang. Namun kadang ingin juga sedikit menyakiti hari orang-orang itu. "Dasar Gendut!"

Astagfirullah. Betapa sejak kecil dulu kita telah menjadi penjahat. Telah membunuh karakter setiap orang. Telah melukai banyak orang. Tak semua sahabat kecil kita berhati tegar.

Apa jadinya jika sahabat-sahabat kecil kita dulu masih ingat apa saja yang pernah menimpa diri mereka, masih ingat siapa saja yang dulu melakukannya? Astagfirullah. Bagaimana jika sahabat-sahabat kecil itu kini telah dewasa dan masih menyimpan kenangan buruk yang mereka alami? Bagaimana jika mereka masih akan terus mengingatnya? Bagaimana jika mereka masih sakit hati? Masih tak rela, masih dendam. Bagaimana jika mereka tak memaafkan?

Padahal kita sering menganggap semuanya telah lewat. Kita melupakan, kita menganggap orang lain akan melupakan juga. Astagfirulah. Kita telah gegabah benar. Padahal belum tentu kita masih akan punya kesempatan untuk bertemu mereka lagi.

Bagaimana mungkin kita bisa hidup damai sementara orang-orang di masa lalu masih memendam rasa sakit hati kepada kita? Bagaimana mungkin kita berharap hidup tenang di akhirat padahal kita meninggalkan sahabat-sahabat yang belum memaafkan salah-salah kita?

Ya, Allah. Semoga hati dan pikiran saya dibersihkan dari perasaan tak ikhlas. Semoga hati dan pikiran saya memaafkan segala salah yang pernah dilakukan leh sahabat-sahabat saya. Andai saya diberi kesempatan untuk bisa bertemu dengan para sahabat pernah saya lukai perasaannya, saya ingin meminta maaf. Agar tak ada beban yang membuat jiwa melekat pada semesta. Karena saya ingin hidup kali terakhir ini saja.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.