Skip to main content

Mencari Orang Kampungan di Jakarta


Menurut Anda, area mana di Jakarta Raya ini yang masih layak di sebuat kampung? Apakah wilayah-wilayah yang masih menggunakan kata 'kampung' seperti Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Rambutan?
Atau sebenarnya istilah kampung lebih tepat ditujukan pada masyarakat yang sikap, perilaku, dan pikirannya masih kedaerahan? Tak seorang pun mau dicap 'kampungan'. Karena kampungan, seseorang dianggap nyeleneh, 'beda' dari yang lain.
Beberapa bulan terakhir, saya tinggal di sebuah wilayah bernama Cempaka Putih. Melewati sejumlah jalan empat meteran yang disesaki oleh parkiran, pedagang kaki lima, dan berbagai rongsokan seperti mobil tua, gerobak tua, pos kampling tua. Kesesakan itu, masih ditambah dengan mikrolet, bajaj, ojek, metromini, kendaraan pribadi, gerobak sampah, sepeda, dll. Sebetulnya, inilah potret Jakarta sesungguhnya. Cempaka Putih hanyalah sebagian sample saja.
Bulan Agustus ini, saya banyak terkesima. Betapa sulitnya mencari jalan pulang! Sebagian jalan ditutup karena berbagai kepentingan: panggung kawinan, tenda duka orang yang meninggal, dan panggung agustusan. Pagi lancar, sore bisa penuh kejutan. Begitulah.


Adakah yang salah dalam pemanfaatan ruang publik?


Istri saya hanya terkekeh mendengar argumen saya bahwa mestinya ada sebuah reformasi yang berurusan dengan pemanfaatan ruang publik itu. Pemerintah daerah mesti turun tangan. Menggunakan lahan umum untuk kepentingan pribadi bahkan untuk umum sekalipun, sebaiknya diatur oleh sebuah undang-undang daerah dan dicarikan solusinya.


1. Dirikan sebuah bangunan serba guna;2. Data kondisi masyarakat setempat, apakah tergolng mampu, menengah, atau kurang mampu. Hal tersebut berguna untuk menentukan tarif bagi masyarakat yang ingin menggunakan bangunan tersebut;3. Memanfaatkan bagian dari tempat ibadah sebagai rumah duka;


Sudah saatnya, kita tak menilai diri sendiri sebagai pihak yang paling penting di atas orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.