Sampai saat ini, masih saja ada orang yang entah memang berharap saya membelikan sesuatu untuknya atau karena kebiasaan berbasa-basi setiap kali tahu saya akan melakukan perjalanan. Seorang sahabat yang selalu tahu saya mau kemana, selalu menitip ini itu. Bahkan jika saya keluar seratus meter dari rumah.
Beberapa kali, saya tega mengatakan tak mau membelikan buah tangan apa pun. Itu setelah saya membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana menghadapi orang-orang yang suka celamitan minta ini-itu dari kunjungan kita ke berbagai tempat. Dampaknya dasyat. Saya diboikot dan dimushi.Orang Indonesia terlalu berperasaan. Membelikan oleh-oleh, dulu-dulu masih sering saya pertimbangkan. Misalnya untuk orang rumah, untuk sahabat di kantor, untuk sahabat satu gank, hingga siapa pun yang menitip. Namun ketika bepergian menjadi bagian dari gaya hidup, saya tak ingin melakukannya lagi.
Bayangkan jika dalam satu bulan saya memiliki jadual jalan-jalan. Berapa anyak uang yang harus saya sediakan? Bisa saja saya akali, tidak semua orang saya kasih. Si A dikasih, si B tidak. Si C dikasih, si D tidak. Bisa jadi bumerang buat saya.
Lain waktu, saya akali dengan 'barang siapa mau oleh-oleh, sini uangnya!'. Tak ada oleh-oleh yang gratis. Tapi jadinya saya kerepotan juga. Waktu bermain saya berkurang karena masih harus memikirkan titipan buat si A, buat si B, buat si C. Padahal tidak semua barang bisa dibeli di tempat yang sama.
Saya pikir, ternyata banyak sekali pengorbanan yang perlu saya tanggung. Bayangkan, saya perlu meluangkan waktu khusus, tenaga, pikiran [iya, dong], dan uang. Padahal seringnya, saya bepergian selalu dengan uang tak banyak. Saya kan bukan klan-nya Suharto atau Bakri. Jadi turis saja dengan gaya backpacking.
Seorang sahabat kantor saya mengecap saya pelit karena saking seringnya saya traveling, tapi sangat jarang membawa oleh-oleh untuk dibagikan. Masa bodoh, pikir saya. Dia mungkin tak tahu, bahwa untuk melakukan jalan-jalan itu saya mesti membuat tabungan khusus, menahan nafsu untuk tidak membeli gadget-gadget terbaru, menahan diri untuk tidak membeli baju-baju bagus, makan dengan menu yang sangat sederhana, tidak clubbing, tidak berlangganan majalah ini itu lagi, ...
Banyak orang tidak tahu bahwa setiap kali melakukan perjalanan, saya harus menghitung cermat segala macam pengeluaran. Agar dengan uang terbatas, saya bisa melakukan banyak hal dan bisa bertahan dari mula berangkat hingga tiba di rumah. Penerbangan semurah-murahnya (berharap gratis), kamar hotel semurah-murahnya [dorm room] biarpun yang tak ber-AC, makan semurah-murahnya.
Beberapa kali, saya tega mengatakan tak mau membelikan buah tangan apa pun. Itu setelah saya membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana menghadapi orang-orang yang suka celamitan minta ini-itu dari kunjungan kita ke berbagai tempat. Dampaknya dasyat. Saya diboikot dan dimushi.Orang Indonesia terlalu berperasaan. Membelikan oleh-oleh, dulu-dulu masih sering saya pertimbangkan. Misalnya untuk orang rumah, untuk sahabat di kantor, untuk sahabat satu gank, hingga siapa pun yang menitip. Namun ketika bepergian menjadi bagian dari gaya hidup, saya tak ingin melakukannya lagi.
Bayangkan jika dalam satu bulan saya memiliki jadual jalan-jalan. Berapa anyak uang yang harus saya sediakan? Bisa saja saya akali, tidak semua orang saya kasih. Si A dikasih, si B tidak. Si C dikasih, si D tidak. Bisa jadi bumerang buat saya.
Lain waktu, saya akali dengan 'barang siapa mau oleh-oleh, sini uangnya!'. Tak ada oleh-oleh yang gratis. Tapi jadinya saya kerepotan juga. Waktu bermain saya berkurang karena masih harus memikirkan titipan buat si A, buat si B, buat si C. Padahal tidak semua barang bisa dibeli di tempat yang sama.
Saya pikir, ternyata banyak sekali pengorbanan yang perlu saya tanggung. Bayangkan, saya perlu meluangkan waktu khusus, tenaga, pikiran [iya, dong], dan uang. Padahal seringnya, saya bepergian selalu dengan uang tak banyak. Saya kan bukan klan-nya Suharto atau Bakri. Jadi turis saja dengan gaya backpacking.
Seorang sahabat kantor saya mengecap saya pelit karena saking seringnya saya traveling, tapi sangat jarang membawa oleh-oleh untuk dibagikan. Masa bodoh, pikir saya. Dia mungkin tak tahu, bahwa untuk melakukan jalan-jalan itu saya mesti membuat tabungan khusus, menahan nafsu untuk tidak membeli gadget-gadget terbaru, menahan diri untuk tidak membeli baju-baju bagus, makan dengan menu yang sangat sederhana, tidak clubbing, tidak berlangganan majalah ini itu lagi, ...
Banyak orang tidak tahu bahwa setiap kali melakukan perjalanan, saya harus menghitung cermat segala macam pengeluaran. Agar dengan uang terbatas, saya bisa melakukan banyak hal dan bisa bertahan dari mula berangkat hingga tiba di rumah. Penerbangan semurah-murahnya (berharap gratis), kamar hotel semurah-murahnya [dorm room] biarpun yang tak ber-AC, makan semurah-murahnya.
Comments