Skip to main content

Soulmate Itu Diciptakan, Bukan Ditemukan

Padahal saya sedang asyik melanjutkan tidur akhir pekan itu, Istri minta ditemani ke pasar tradisional dekat rumah. Cuma untuk membeli seikat buncis, bumbu dapur, ayam bumbu, dan sepotong tempe. Saya pause dvd player-nya. Ah, nonton kan bisa kapan saja. Padahal saya sedang tenggelam dalam sebuah buku, Istri mengajak ke pesta perkawinan seorang tetangga. Padahal saya ingin sekali hadir penuh waktu di sebuah reuni SMU. Bayangkan, belasan tahun saya tak bertemu dengan sahabat-sahabat lama! Pada waktu bersamaan, Istri memiliki janji dengan dokter kandungan. Maka saya hanya bisa hadir sekejap dan pamit justeru ketika acara sedang seru-serunya.

Padahal, kapan pun saya mau, saya minta Isteri melayani syahwat saya. Padahal, setiap Senin-Kamis dini hari Isteri akan bangun untuk memasak dan menghidangkan sahur untuk saya. Padahal setiap tengah malam, Isteri membangunkan saya untuk sembahyang malam.

Pengorbanankah? Sama sekali bukan. Saya menyadari bahwa komitmen berpasangan adalah pembunuhan ego terus menerus tanpa akhir. Saya ikhlas melakukan apa pun untuk dia sejauh masih dalam koridor kebaikan. Tanpa syarat.

Pernikahan adalah ibadah. Arahkan saja hari ke kiblat. Segalanya akan ringan dan terang. Segala perbedaan adalah indah. Insyaallah.

We can not say that your partner is your soulmate sebelum masing-masing dari pasangan itu mampu menekan ego hingga zero level. Bahwa gerak jari pasangan adalah gerak jari kita, bahwa nafas pasangan adalah nafas kita, bahwa susah senang pasangan adalah susah senang kita, bahwa mimpi pasangan adalah mimpi kita.

Maka belahan jiwa sesungguhnya tak akan pernah bisa ditemukan, kecuali kita menciptakannya. Tak perlu menunggu menemukan yang baru, mulailah dari pasangan yang sekarang kita miliki.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.