Skip to main content

Suicide .Com


Membaca detikom, ada dua berita bunuh diri yang saya baca hari ini, Senin, 27 Agustus. Pertama, kasus Apartemen Ambasador. Seorang ibu yang melompat dari lantai 35 bersama seorang anaknya yang baru berusia 2 tahun. Kasus kedua menimpa Owen Wilson. Aktor Hollywood yang populer, ganteng, kaya. Namun Owen berhasil diselamatkan.


Sebagian besar orang menghindari kematian karena hidup begitu besar artinya. Kita berjuang dari mara bahaya agar selamat. Kita berobat ketika sakit biar bisa sembuh. Kita berdoa setiap ulang tahun agar dipanjangkan umur. Kita berhati-hati setiap saat agar bisa survive.


Namun, ada saja yang ingin menjemput kematian agar segera datang. Tak kunjung datang, jalan pintas-lah yang mereka ambil.


Sebagian dari kita akan dengan mudah menghujat betapa bodohnya orang-orang yang ingin mengakhiri hidup dengan membunuh diri. Tentu saja karena kita memegang norma agama yang sejak kecil menjadi dogma.


Saya tak pernah mengalami depresi yang sangat sehingga perlu mematikan diri sendiri. Entah jika orang-orang yang saya sebut di atas, apakah karena depresi hebat? Ah, semoga saya dijauhkan dari keputusan itu. Juga orang-orang terdekat saya, pun orang-orang yang saya kenal. Betapa menyedeihkan, menyakitkan, memilukan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.