Skip to main content

Bohong Besar Jika Anda Bilang Anda Beragama

Anda boleh mengklaim bahwa diri Anda memiliki Tuhan yang Anda percaya sebagai 'sesuatu' yang menciptakan Anda, jagat raya, dan segala isinya. Karena kita hidup di Indonesia yang mensyaratkan warga negaranya harus beragama salah satu dari lima yang disebutkan dalam GBHN, maka semua warga negara sejak bayi, bahkan sebelum dilahirkan (selamatan kehamilan usia 4 bulan dalam Islam, untuk menandai ruh yang ditiupkan pada si jabang bayi) telah dipilihkan agama oleh orang tuanya.

Namun apakah Tuhan yang menurut Anda layak disembah itu akan merasa bahwa Anda adalah salah satu hamba-Nya?

Dengan mencantumkan nama agama yang Anda yakini pada kartu identitas penduduk, kemudian Anda merasa telah syah menjadi bagian dari klub pemuja Tuhan yang ada di planet ini. Get up, man! You have to change your mind. Jika perlu, switch it! Apalagi jika usulan menghapus kolom agama dalam KTP disetujui oleh DPR, hilanglah identitas kita sebagai makhluk yang beragama.

Setiap kepercayaan memiliki sederet kriteria bahwa untuk menyatakan diri sebagai manusia yang berketuhanan harus tunduk dan mengikuti hal-hal yang telah disayaratkan tanpa kompromi. Berat tapi ringan, ringan tapi berat. Begitulah. Islam, misalnya. Penganutnya wajib menjalankan rukun Islam dan rukun iman jika ingin disebut beragama Islam.

Namun apa yang terjadi? Kita ternyata adalah pembohong ulung. Kita tahu, namun tak meyakini. Kita percaya, namun tak menjalankan. Just a simple question: kapan terakhir Anda bersembahyang?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.