Skip to main content

Dijual: Ruang untuk Mengeluh!

Padahal sudah pernah menerima email berantai berjudul 'Tak Ada Ruang untuk Mengeluh' hingga tiga kali. Pesan itu terdiri dari dua kelompok foto yang yang saling bersebrangan subjeknya. Kelompok pertama, tentang keadaan-keadaan yang serba 'berlebihan', kelompok lain menunjukkan foto-foto yang keadaannya serba kekurangan. Misalnya, mengapa mengeluh dengan bobot badan Anda yang besar hingga Anda mati-matin berdiet untuk mendapatkan berat dan bentuk tubuh ideal sementara di belahan dunia lain orang-orang sedemikian kurusnya karena kekurangan nutrisi.

Persis, setiap kali saya menerima, membaca, dan mengamati email yang disampaikan, saya selalu terjaga. Iya, saya tak boleh mengeluh untuk hal apapun. Saya berjanji untuk tak boleh mengeluh dalam kondisi apa pun. Namun biasanya, ketika pesan itu lama berlalu, saya lupa, lalu kembali kepada kebiasaan bawah sadar: mengeluh.

Tapi ketika saya menerima email yang sama untuk yang ketiga kalinya, saya melongo lebih lama. Saya teringat betapa saya mengeluh panjang pendek tentang flek hitam di pipi saya, bentuk perut yang makin menonjol ke depan. Saya mengeluh untuk banyak hal padahal kondisi yang saya keluhkan begitu diimpikan oleh banyak orang!

Semoga untuk selanjutnya saya tak lagi punya kebiasaan mengeluh. Saya tak perlu juga mengeluhkan tentang sahabat saya yang selalu mengeluh.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.