Skip to main content

Enaugh is Enaugh: Resign


Keputusan untuk menjadi independence-man akhirnya tiba juga. Untuk kesekian kalinya, dengan kesadaran penuh, saya mengundurkan diri dari pekerjaan dimana saya mendapatkan uang untuk nafkah hidup.
Saya pernah keluar bekerja dari sebuah biro riset, dari dua buah pabrik, dari sebuah majalah gaya hidup, terakhir dari sebuah production house.
Apa yang saya cari kemudian saya dapatkan? Apa yang saya cari namun tak saya dapatkan? Bekerja tak sekedar urusan perut. Ketika urusan ini saya capai, saya menyadari bahwa bekerja juga berhubungan dengan urusan hati. Lalu ketika urusan hati tercukupi, bekerja juga ternyata berkaitan dengan urusan spiritual.


Manusia akan terus mencoba melengkapi segala kriteria yang dimiliki. Sementara kriteria itu bisa berubah-ubah dan bisa bertambah atau berkurang. Tapi tentu saja tak semua manusia mengalami hal yang demikian. Saya ingin keseimbangan horisontal dan vertikal. Inilah cara yang saya ambil.


Saya memilih menjadi manusia bebas. Dimana kriteria bisa saya tambah dan ubah setiap kali saya ingin melakukannya. Saya tak merasa perlu berada dalam sebuah puncak karir yang gemilang. Saya hanya ingin melakukan apa yang ingin saya lakukan.


Jika pada sebuah tempat bekerja saya rasa sudah cukup, saya akan mencari tempat lain. Sekarang saya sedang memasuki dunia baru saya. Dunia baru yang dipenuhi oleh urusan perut, hati, dan spiritual. Kombinasi yang saya harapkan bisa menentramkan. Kombinasi yang hanya bisa terjadi hanya karena saya menginginkannya, melakukannya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.