Skip to main content

Futsal di Kolong Jalan Tol, NewsStand di Jembatan Penyebrangan

Dibutuhkan uang negara yang tak sedikit untuk mengusir warga yang menempati kolong jalan tol baru-baru ini. Tak sekedar uang banyak yang harus digelontorkan, juga ongkos sosial yang tak kalah tinggi.

Menghadapi kaum marginal, bukan perkara gampang bagi pemerintah daerah di belahan bumi manapun, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Jika ditanya saya akan di pihak mana jika Pemerintah Kota dan rakyat yang tergusur berseteru, saya akan sulit menjawab. Hati nurani saya mungkin akan simpati pada kelompok rakyat itu. Namun, saya yang sering melihat bagaimana kota-kota besar di belahan dunia lain dikelola, akan setuju jika penggusuran dilakukan demi penertiban kota. Saya akan sangat terkesan jika akhirnya kolong tol yang ditinggalkan para penghuninya lantas dijadikan lapangan futsal, misalnya.

Kita sering berhadapan dengan warga yang asal menghuni tempat kosong walaupun itu bukan haknya. Ada tanah kosong, langsung mendirikan bangunan. Ada lahan menganggur, langsung menggelar dagangan. Saya menyebutnya pencuri, oportunis. Berusaha boleh, karena emang diwajibkan oleh agama agar kita semua harus mencari nafkah untuk mempertahankan hidup. Namun jika harus mengabaikan hak-hak orang lain, menyerobot bagian yang bukan milik sendiri, jelas tak masuk dalam lingkaran kompromi saya.

Ada banyak cara yang elegan dan rapi jika punya hasrat ingin hidup seperti itu. Tak merugikan orang lain. Sepertinya pemerintah punya berbagai program sosial yang bisa membantu masyarakat yang memiliki kepentingan ke arah sana. Berjualan pada tempat yang ditentukan, misalnya.

Saya melihat Pemerintah Kota juga tak memiliki keseriusan yang stabil. Akhir tahun 90an, trotoar di sekitar Fakultas Kedokteran UI, antara Salemba dan Diponegoro, masih lengang tanpa para Pedagang Kaki Lima. Memasuk tahun 2000, satu dua pedagang mulai berdatangan. Tak ada reaksi dari Pemerintah Kota. Hingga saat ini, belum pernah terlihat ada pembersihan. Hingga entah suatu kali nanti, mereka yang semula hanya gelar tikar jadi pasang tanggul.

Setelah razia berulang, banyak jembatan penyebrangan di sekitar Thamrin dan Sudirman aman dari PKL. Beberapa bulan terakhir marak lagi. Tak ada aksi dari Pemerintah Kota. Mungkin menunggu sampai semua jembatan penyebrangan menjadi pasar malam, baru bertindak.

Idealnya, Pemerintah Kota menyiapkan petugas di setiap jengkal wilayah yang rawan PKL atau tindakan pemanfaatan area umum lainnya yang akan dipakai untuk kepentingan pribadi. Sehingga ketika ada satu dua kegiatan yang mengarah ke sana, langsung bisa ditertibkan. Tanpa berseteru, tanpa mengeluarkan ongkos banyak. Kota terjaga kerapiannya, kenyamanannya.

Untuk sementara, saya akan tutup mata saja. Jika suatu hari kelak jadi Walikota, baru bertindak untuk membuat sebuah kota yang manusiawi bagi manusia penghuninya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.