Skip to main content

Ilegal Lovers


Menjadi orang ketiga dari seorang pasangan, kadang tak bisa kita hindari. Saya pernah menjadi penjahat itu. Ya, setelah masa berlalu, saya merasa telah berbuat kriminal karena menjadi pengganggu dari sebuah hubungan. Tapi kala itu saya berdalih, hubungan mereka memang sudah kacau beliau. Sejuta alasan memang.

Saya tak mau melakukannya lagi. Menjadi orang ketiga, siap-siap saja diperlukan tidak adil. Hidup rasanya tidak merdeka karena dijatah, dibatasi, diduakan.

Banyak pelaku, sebagai orang ketiga, meskipun menyadari itu keliru, namun tetap melakoni. Jika sudah bicara cinta, tahi kambing bulat-bulat ditaburi tepung gula pun masih berasa enak. Ironis emang. Cinta dijadikan kambing hitam, dijadikan pembenaran atas sebuah perbuatan. Tentu saja, cinta memang selalu menjadi pihak yang dimenangkan. Meskipun ilegal.

Otak sepertinya tidak berfungsi dengan baik ketika hati sudah dibalut cinta. Nasihat dari kanan-kiri rasanya hanya sejuk didengar seketika, selanjutnya masa bodoh.

Mungkin memang bukan cita-cita dari sebagian kita untuk menjadi orang ketiga. Ada yang memang tak tahu sejak awal bahwa orang yang dikencani sudah berpasangan karena pasangannya tak bercerita. Ada yang memang sudah tahu sejak permulaan. Ada yang langsung mundur teratur. Ada yang berlarut.

Saya tak punya nasihat untuk orang-orang yang memilih menjadi orang ketiga ini. Kecuali: teruskan! Puaskan! Hingga suatu hari nanti kalian menemukan cermin, bicaralah padanya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.