Skip to main content

Kapan Terakhir Anda Berdoa?


Sering dengar orang bicara: Jika sedang berkesusahan, berdoa saja. Klise, ya? Bertahun-tahun saya tak pernah menanggapi usulan seperti itu. Saya hanya percaya bahwa segala sesuatunya akan kejadian jika waktunya tiba.

Orang sakit akan sembuh jika waktu sembuhnya tiba. Orang akan menikah jika waktunya tiba. Orang akan mati jika waktunya tiba. Panen padi, duren, apalah, akan kejadian jika waktunya tiba. Orang akan menjadi juara atau kalah jika waktunya tiba.

Begitulah. Saya pernah berpikir seperti tiu. Berdoa hanya untuk orang-orang soleh saja. Namun akhir-akhir ini, tak ada menit yang lewati tanpa berdoa. Saya berdoa agar dijauhkan dari mara bahaya, dijauhkan dari berbagai penyakit, dijauhkan dari fitnah, dijauhkan dari niat jahat orang-orang dzolim.

Saya berdoa agar dosa-dosa saya diampuni, dosa orang tua, dosa isteri, dosa keluarga, dosa para sahabat, dan dosa semua orang yang telah berbuat baik kepada saya. Saya juga berdoa agar rezeki saya tercurah banyak, dijauhkan dari segala masalah, dimudahkan dalam segala urusan, diberi petunjuk untuk setiap persoalan yang menghadang.

Betul, jika waktunya tiba, segala sesuatu yang sudab tertentu itu akan kejadian juga. Namun jika kita terlalu percaya hal itu, saya pikir itu hanyalah prasangka saja. Kita memegang sebuah pedoman sebab akibat yang menjadi kitab kepercayaan banyak orang. Bahwa orang sakit jika diobati akan sembuh. Bahwa tanaman jika dipelihara, lalu berbunga, maka akan segera waktunya datang masa panen.

Padahal, siapa tahu bahwa doa adalah jawaban dari segala masalah yang kita punya. Siapa tahu bahwa berdoa adalah 'tahap' yang melengkapi kesempurnaan dari usaha kita. Berdoa itu murah dan mudah.

Pasangan suami istri sudah lama menikah tak dikarunia anak, karena mereka tak berdoa. Orang sakit tak sembuh karena mereka lupa berdoa. Orang miskin tak kaya, mereka tak sempat berdoa. Banyak jomblo susah menemukan jodoh, karena mereka malu berdoa.

Kapan terakhir Anda berdoa? Selagi sempat, berdoalah. Mintalah, maka Tuhan mendengarkan. Siapa tahu mengabulkan. Belum terkabul? Berdoalah. Semoga Tuhan mengabulkan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.