Skip to main content

Kita Temenan Saja


"Kita temenan aja, deh." Sopan tapi menusuk. Seorang sahabat saya bilang begitu ketika saya mengajak 'jadian'. Tanpa menanyakan alasannya, saya mencoba menerima keputusan dia dengan 7 hari tujuh malam berintrospeksi.

Lain waktu, sahabat perempuan saya yang lain salah menerjemahkan kedekatan saya dengan dia. Saya menulis sebuah puisi cinta pada sebuah buku. Buku tersebut tak lama dipinjam dia. Persahabatan kami nyaris rusak jika kami tak bersikap dewasa menghadapi kasus serba tak enak itu.

Setiap dari kita selalu punya kriteria seperti apa seseorang layak menjadi kekasih. Hasil dari introspeksi, biasanya saya langsung tahu diri. Iya, saya tak sesuai dengan kriteria dia. Saya tak mau sakit hati karena cinta ditolak. Meskipun perlu waktu untuk menyembuhkan, saya tak mau meratap terlalu lama. Ah, dunia tak selebar daun kelor. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan gadis-gadis lain. Iya, mending bersahabat saja dengan dia. Lebih indah, lebih tanpa pamrih.

Belum lama seorang sahabat saya mengirim SMS. Harapannya untuk mengikat hati pria pujaannya kandas. Si pria lebih suka mengubah status hubungan mereka dengan 'kita lebih baik temenen saja.' Serasa merasakan kehampaan yang sama, kepedihan yang sama, kekecewaan yang sama.

Lalu pada suatu malam yang sunyi, saya memanjatkan sebait doa. "Ya, Allah. Hanya Engkau yang tahu mengapa mereka tak Engkau persatukan. Dari-Mu rasa suka itu, dari-Mu anugrah itu. Kini Engkau ambil kembali, ambillah. Sesungguhnya saya percaya bahwa Engkau hanya akan memberikan yang terbaik buat mereka. Maka, berikanlah yang terbaik itu."

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.