"Kita temenan aja, deh." Sopan tapi menusuk. Seorang sahabat saya bilang begitu ketika saya mengajak 'jadian'. Tanpa menanyakan alasannya, saya mencoba menerima keputusan dia dengan 7 hari tujuh malam berintrospeksi.
Lain waktu, sahabat perempuan saya yang lain salah menerjemahkan kedekatan saya dengan dia. Saya menulis sebuah puisi cinta pada sebuah buku. Buku tersebut tak lama dipinjam dia. Persahabatan kami nyaris rusak jika kami tak bersikap dewasa menghadapi kasus serba tak enak itu.
Setiap dari kita selalu punya kriteria seperti apa seseorang layak menjadi kekasih. Hasil dari introspeksi, biasanya saya langsung tahu diri. Iya, saya tak sesuai dengan kriteria dia. Saya tak mau sakit hati karena cinta ditolak. Meskipun perlu waktu untuk menyembuhkan, saya tak mau meratap terlalu lama. Ah, dunia tak selebar daun kelor. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan gadis-gadis lain. Iya, mending bersahabat saja dengan dia. Lebih indah, lebih tanpa pamrih.
Belum lama seorang sahabat saya mengirim SMS. Harapannya untuk mengikat hati pria pujaannya kandas. Si pria lebih suka mengubah status hubungan mereka dengan 'kita lebih baik temenen saja.' Serasa merasakan kehampaan yang sama, kepedihan yang sama, kekecewaan yang sama.
Lalu pada suatu malam yang sunyi, saya memanjatkan sebait doa. "Ya, Allah. Hanya Engkau yang tahu mengapa mereka tak Engkau persatukan. Dari-Mu rasa suka itu, dari-Mu anugrah itu. Kini Engkau ambil kembali, ambillah. Sesungguhnya saya percaya bahwa Engkau hanya akan memberikan yang terbaik buat mereka. Maka, berikanlah yang terbaik itu."
Comments