Skip to main content

Un-Celebrating Man

Padahal hari itu mestinya saya membuat acara perpisahan dengan rekan-rekan satu kantor karena saya resmi mengundurkan diri. Namun saya bersikap bahwa hari itu seperti hari-hari sebelumnya, santai saja. Orang berhenti kerja kan biasa saja. Saya tak suka menjadi pusat perhatian. Tak suka menjadi pangkal keramain.

Begitu juga saat saya berulang tahun. Bukannya tak menghargai sahabat-sahabat yang repot-repot mengirimkan kartu ucapan, SMS, email, telepon, bahkan pesta kejutan. Saya memilih melewati hari ulang tahun dengan menganggap bahwa hari itu sama saja dengan hari-hari lainnya.

Bahkan, ketika hari pernikahan tiba, saya melakukannya in silence. Tak bisa membayangkan saya duduk di sebuah pelaminan sementara hiruk pikuk di sekitar saya. Ah, saya bukan type manusia seperti itu. Begitulah. Saya memang tak suka di tengah hura-hura kerumunan orang. Apalagi jika harus menjadi pusat perhatian.

Contoh lain, saya tak pernah membeli tiket untuk menonton konser musik. Pernah beberapa kali menadapat tiket gratisan, namun tak saya gunakan. Saya lebih suka memberikannya pada sahabat lain yang memang gandrung dengan acara semacam itu. Padahal saya penikmat musik. Padahal saya penikmat tontonan. Saya hanya merasa nyaman dan aman jika monontonnya di depan layar TV di rumah. Biarlah.

Sesekali saya memang pergi ke tempat pertunjukan: film, teater, tari kontemporer. Bukan sirkus. Bukan ludruk. Jika saya harus terlibat dalam sebuah produksi pertunjukan, saya akan memilih menjadi orang di balik layar. Bukan bintangnya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.