Saya pernah punya seorang sahabat. Kami sangat dekat, setidaknya menurut saya. Segala usahanya saya dukung. Setiap kali dia punya masalah, saya luangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mendiskusikan jalan keluar bagi persoalan yang ia hadapi. Termasuk memikirkan bagaimana agar usahanya lancar dan maju. Tak ada pamrih. Kecuali karena saya memang senang melakukannya.
Tak ada masalah yang saya tahu kecuali dari dia. Suatu ketika, sebuah masalah besar muncul. Terjadi keributan. Saya sungguh tak tahu dengan apa yang terjadi. Saya dimusuhi oleh sahabat saya itu, katanya, saya tak memihak dia. Saya bingung. Meskipun kami dekat, bukan berarti serta merta saya akan mendukung dia. Bagaimana jika dia keliru mengambil keputusan?
Benar saja. Keributan yang terjadi dipicu karena ketidakpuasan dari sejumlah pihak yang bekerja sama dengan dia. Yang lucunya, hal tersebut tanpa dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi, pernah saya ingatkan agar tak dilakukan oleh sahabat saya itu. Seolah berhubungan, maka saya lalu dianggap sebagai orang di balik kericuhan itu.
Lama saya menyimpan kemarahan. Saya tak tahu apa-apa malah dituduh macam-macam. Saya lalu menyadari tentang kekurangan saya. Tak suka dituduh untuk sesuatu yang tidak saya lakukan, maka saya akan mengendapkan dalam hati. Saya bisa memaafkan, namun setiap kali ada kesempatan yang mengaitkan sesuatu dengan peristiwa itu, saya masih akan terpancing untuk berapi-api bercerita.
Kejadian lain, saya terlibat dalam sebuah event dengan sejumlah sahabat. Saya bergabung dengan tulus, karena saya menyenangi kegiatan tersebut. Sesuatu terjadi. Ada pihak yang berlaku sewenang-wenang di sana. Saya tahu tapi sungguh saya tak ingin bersikap karena semua yang terlibat dalam kegiatan itu adalah sahabat saya. Banyak pihak merasa tidak diperlakukan tidak adil, tapi salah seorang sahabat saya ini maju jalan pantang mundur dengan keputusannya.
Saya dimusuhi. Sedihnya, saya tidak tahu kalau saya dimusuhi. Saya bersikap seperti tidak ada apa-apa. Namun setelah menyadari bahwa saya sedang dijauhi, saya merasa dikhianati.
Dikhianati sahabat, rasanya emang menyakitkan. Bertahun lalu kejadiannya. Namun masih segar dalam ingatan. Saya ingin melupakan. Tak ingin menyesaki ingatan, terlebih hati. Ah, semoga Tuhan tahu persis dengan kesungguhan saya melupakan kejadian-kejadian itu.
Saya ingin melupakan karena sudah lama memaafkan.
Tak ada masalah yang saya tahu kecuali dari dia. Suatu ketika, sebuah masalah besar muncul. Terjadi keributan. Saya sungguh tak tahu dengan apa yang terjadi. Saya dimusuhi oleh sahabat saya itu, katanya, saya tak memihak dia. Saya bingung. Meskipun kami dekat, bukan berarti serta merta saya akan mendukung dia. Bagaimana jika dia keliru mengambil keputusan?
Benar saja. Keributan yang terjadi dipicu karena ketidakpuasan dari sejumlah pihak yang bekerja sama dengan dia. Yang lucunya, hal tersebut tanpa dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi, pernah saya ingatkan agar tak dilakukan oleh sahabat saya itu. Seolah berhubungan, maka saya lalu dianggap sebagai orang di balik kericuhan itu.
Lama saya menyimpan kemarahan. Saya tak tahu apa-apa malah dituduh macam-macam. Saya lalu menyadari tentang kekurangan saya. Tak suka dituduh untuk sesuatu yang tidak saya lakukan, maka saya akan mengendapkan dalam hati. Saya bisa memaafkan, namun setiap kali ada kesempatan yang mengaitkan sesuatu dengan peristiwa itu, saya masih akan terpancing untuk berapi-api bercerita.
Kejadian lain, saya terlibat dalam sebuah event dengan sejumlah sahabat. Saya bergabung dengan tulus, karena saya menyenangi kegiatan tersebut. Sesuatu terjadi. Ada pihak yang berlaku sewenang-wenang di sana. Saya tahu tapi sungguh saya tak ingin bersikap karena semua yang terlibat dalam kegiatan itu adalah sahabat saya. Banyak pihak merasa tidak diperlakukan tidak adil, tapi salah seorang sahabat saya ini maju jalan pantang mundur dengan keputusannya.
Saya dimusuhi. Sedihnya, saya tidak tahu kalau saya dimusuhi. Saya bersikap seperti tidak ada apa-apa. Namun setelah menyadari bahwa saya sedang dijauhi, saya merasa dikhianati.
Dikhianati sahabat, rasanya emang menyakitkan. Bertahun lalu kejadiannya. Namun masih segar dalam ingatan. Saya ingin melupakan. Tak ingin menyesaki ingatan, terlebih hati. Ah, semoga Tuhan tahu persis dengan kesungguhan saya melupakan kejadian-kejadian itu.
Saya ingin melupakan karena sudah lama memaafkan.
Comments