Skip to main content

Anda Baru Memaafkan? Saya Sudah Melupakan

Saya pernah punya seorang sahabat. Kami sangat dekat, setidaknya menurut saya. Segala usahanya saya dukung. Setiap kali dia punya masalah, saya luangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mendiskusikan jalan keluar bagi persoalan yang ia hadapi. Termasuk memikirkan bagaimana agar usahanya lancar dan maju. Tak ada pamrih. Kecuali karena saya memang senang melakukannya.

Tak ada masalah yang saya tahu kecuali dari dia. Suatu ketika, sebuah masalah besar muncul. Terjadi keributan. Saya sungguh tak tahu dengan apa yang terjadi. Saya dimusuhi oleh sahabat saya itu, katanya, saya tak memihak dia. Saya bingung. Meskipun kami dekat, bukan berarti serta merta saya akan mendukung dia. Bagaimana jika dia keliru mengambil keputusan?

Benar saja. Keributan yang terjadi dipicu karena ketidakpuasan dari sejumlah pihak yang bekerja sama dengan dia. Yang lucunya, hal tersebut tanpa dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi, pernah saya ingatkan agar tak dilakukan oleh sahabat saya itu. Seolah berhubungan, maka saya lalu dianggap sebagai orang di balik kericuhan itu.

Lama saya menyimpan kemarahan. Saya tak tahu apa-apa malah dituduh macam-macam. Saya lalu menyadari tentang kekurangan saya. Tak suka dituduh untuk sesuatu yang tidak saya lakukan, maka saya akan mengendapkan dalam hati. Saya bisa memaafkan, namun setiap kali ada kesempatan yang mengaitkan sesuatu dengan peristiwa itu, saya masih akan terpancing untuk berapi-api bercerita.

Kejadian lain, saya terlibat dalam sebuah event dengan sejumlah sahabat. Saya bergabung dengan tulus, karena saya menyenangi kegiatan tersebut. Sesuatu terjadi. Ada pihak yang berlaku sewenang-wenang di sana. Saya tahu tapi sungguh saya tak ingin bersikap karena semua yang terlibat dalam kegiatan itu adalah sahabat saya. Banyak pihak merasa tidak diperlakukan tidak adil, tapi salah seorang sahabat saya ini maju jalan pantang mundur dengan keputusannya.

Saya dimusuhi. Sedihnya, saya tidak tahu kalau saya dimusuhi. Saya bersikap seperti tidak ada apa-apa. Namun setelah menyadari bahwa saya sedang dijauhi, saya merasa dikhianati.

Dikhianati sahabat, rasanya emang menyakitkan. Bertahun lalu kejadiannya. Namun masih segar dalam ingatan. Saya ingin melupakan. Tak ingin menyesaki ingatan, terlebih hati. Ah, semoga Tuhan tahu persis dengan kesungguhan saya melupakan kejadian-kejadian itu.

Saya ingin melupakan karena sudah lama memaafkan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.