Tiba-tiba badan saya yang sedang terbaring terangkat begitu saja. Mengawang ringan hingga saya bingung apa yang sedang terjadi. Sebuah sensasi ganjil saya rasakan. Seolah badan saya menjadi kutub magnit yang siap menarik apa saja. Saya menoleh ke bawah. Pemandangan kota terhampar. Lalu pada ketinggian tertentu, gravitasi mulai bekerja. Sebelum saya terjerembab saya membalikkan badan berusaha untuk mengendalikan tubuh. Berhasil, badan saya mulai menaik lagi. Tak lama sebuah pemandangan putih benderang terhidang di depan mata. Terang namun tak menyilaukan. Saya tertelan dalam ruang penuh cahaya.
Ah, saya mimpi rupanya.
Ah, saya mimpi rupanya.
Mungkin saya akan 'berpulang'. Begitu saya menginterpresikan mimpi saya itu. Atau Tuhan akan memberi saya derajat yang lebih tinggi dari yang sekarang saya tempati. Ketika saya memberanikan diri untuk mencoba mengunyah interpretasi yang pertama, saya mengamati apa yang terjadi di otak dan hati. Ah, tak ada yang merisaukan. Sepertinya, kali ini saya lumayan siap dengan segala kemungkinan.
Saya teringat dengan pengalaman pernah dihampirmatikan saat terkena malaria. Apa mungkin 'peristiwa kematian yang trtunda' itu akan menemui waktunya? Akankah saya benar-benar akan pergi' kali ini?
Ganti waktu, dalam mimpi saya menghampiri Ibu dan Bapak (almarhum) yang sedang duduk bersisian di luar rumah. Bapak dengan pici dan sorban. Saya duduk bersimpuh dengan air mata terurai. Menyalami mereka satu per satu. Seperti memohon maaf. Seperti berpamitan.
Ya, Allah. Saya tak ingin berprasangka dengan segala rencana-Mu. Saya akan terus menjaga hati agar selalu disesaki oleh ijin-Mu. Kini atau nanti, saya pasrahkan. Kepada-Mu dan hanya untuk-Mu jiwa dan raga ini. Sucikan. Ampuni.
Comments