Skip to main content

Ikhlas Itu Susah Sekali

Seumur hidup, kerap saya berhadapan dengan orang-orang yang sangat di luar dugaan tabit dan perilakunya. Ada yang serakah main caplok jatah orang lain, ada yang sok tahu melebihi yang tahu, ada yang susah diatur dan mengatur diri, ada yang sensitif gampang ngambek, ada yang berkhianat...

Sebagus-bagus saya menahan diri untuk selalu sadar agar sifat aseli saya tak muncul, sering kali saya kalah. Menghadapi orang-orang demikian, tak jarang saya terpancing untuk meladeni. Jadi senewen, jadi sebal, jadi uring-uringan, jadi mengutuk, jadi ikutan marah.

Saya bukan mereka. Saat mereka berperilaku 'aneh', saya selalu mengingatkan diri untuk tidak ada pada level rendah mereka. Saya harus menarik diri ke level yang lebih tinggi. Supaya tak terbawa arus antipositif. Namun selalu gagal.

Sekali dua, saya berhasil mengekang diri. Mengupahi dengan seribu kata mutiara. Saya harus bisa mengendalikan situasi, bukan ikutan bermain dalam luapan ketidakberkualitasan sikap dan sifat. Saya tak boleh seperti itu.

Bayangkan, ketika saya melihat seseorang yang tak mau terbantahkan berargumentasi sesuatu, saya ikut-ikutan ngotot mempertahankan pendapat. Padahal, orang lain pun tahu bahwa pendapat saya penuh kebenaran. Tapi karena cara saya menyampaikan dengan otot dan octaf yang tinggi, orang tetap menganggap saya pecundang. Tak mau mengalah.

Setiap orang boleh punya alasan untuk menjadi si kasar, si pelit, si galak, si judes, dan lain-lain. Namun lain kali, sebaiknya saya tidak menjadi oportunis untuk menjadi pengekor pemilik sifat-sifat jelek itu.

Setiap hari, harus berikrar untuk menjadi lebih baik. Saya rasa, pesoalan di atas tak akan terjadi jika hati saya dipenuhi syukur dan keiklasan. Ikhlas ketika seseorang menuding saya bodoh. Ikhlas walaupun seseorang menganggap saya tak berkualitas. Ikhlas meskipun seseorang berbuat tak adil atas diri saya. Maka tak akan pernah ada beban di hati.

Biarkan semesta yang menghakimi.

Comments

Anonymous said…
benr ma s iklas itu emang susah saya juga mencoba tuk belajar iklas...tapi yang pasti manusia kan ga ada yang sempurna..met kenal salam ma keluarga

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.