Seumur hidup, kerap saya berhadapan dengan orang-orang yang sangat di luar dugaan tabit dan perilakunya. Ada yang serakah main caplok jatah orang lain, ada yang sok tahu melebihi yang tahu, ada yang susah diatur dan mengatur diri, ada yang sensitif gampang ngambek, ada yang berkhianat...
Sebagus-bagus saya menahan diri untuk selalu sadar agar sifat aseli saya tak muncul, sering kali saya kalah. Menghadapi orang-orang demikian, tak jarang saya terpancing untuk meladeni. Jadi senewen, jadi sebal, jadi uring-uringan, jadi mengutuk, jadi ikutan marah.
Saya bukan mereka. Saat mereka berperilaku 'aneh', saya selalu mengingatkan diri untuk tidak ada pada level rendah mereka. Saya harus menarik diri ke level yang lebih tinggi. Supaya tak terbawa arus antipositif. Namun selalu gagal.
Sekali dua, saya berhasil mengekang diri. Mengupahi dengan seribu kata mutiara. Saya harus bisa mengendalikan situasi, bukan ikutan bermain dalam luapan ketidakberkualitasan sikap dan sifat. Saya tak boleh seperti itu.
Bayangkan, ketika saya melihat seseorang yang tak mau terbantahkan berargumentasi sesuatu, saya ikut-ikutan ngotot mempertahankan pendapat. Padahal, orang lain pun tahu bahwa pendapat saya penuh kebenaran. Tapi karena cara saya menyampaikan dengan otot dan octaf yang tinggi, orang tetap menganggap saya pecundang. Tak mau mengalah.
Setiap orang boleh punya alasan untuk menjadi si kasar, si pelit, si galak, si judes, dan lain-lain. Namun lain kali, sebaiknya saya tidak menjadi oportunis untuk menjadi pengekor pemilik sifat-sifat jelek itu.
Setiap hari, harus berikrar untuk menjadi lebih baik. Saya rasa, pesoalan di atas tak akan terjadi jika hati saya dipenuhi syukur dan keiklasan. Ikhlas ketika seseorang menuding saya bodoh. Ikhlas walaupun seseorang menganggap saya tak berkualitas. Ikhlas meskipun seseorang berbuat tak adil atas diri saya. Maka tak akan pernah ada beban di hati.
Biarkan semesta yang menghakimi.
Comments