Ah, saya mungkin terlalu tegas menegur seorang sahabat ketika ia berniat terus memperbaiki hubungan dengan kekasih. Padahal jelas-jelas kekasihnya telah selingkuh. "Kamu selama ini berdoa, kan? Terserah kamu, terbongkarnya perselingkungan pacar kamu dengan perempuan lain itu mau kamu anggap sebagai jawaban atau cobaan?" Sebetulnya saya hanya ingin mengingatkan. Kita mesti terbiasa dengan keajaiban doa. "Jika kamu anggap itu jawaban, kamu perlu merencanakan bagaimana meninggalkan dia dan mempersiapkan untuk menyongsong calon kekasih baru kamu. Tapi jika kamu mengganggap itu cobaan, maka tabahlah. Berdoa semoga ia mau berubah pikiran dan kembali kepada kamu."
Tak berapa lama, sahabat saya yang lain mematung lama ketika saya sadarkan, "Bukankah selama ini kamu berdoa untuk mendapatkan jodoh segera? Tapi mengapa ketika ada pria yang ingin memperisteri kamu, kamu tolak?" Sahabat saya yang satu ini tiba-tiba saja dikejutkan oleh lamaran seorang sahabat lamanya. Namun karena beberapa kriteria, sahabat prianya ini tak masuk dalam nominasi untuk menjadi calon suami bagi dia.
Begitulah. Kita berdoa dan Tuhan menjawab. Namun seberapa jauh kita menilai jawaban-jawaban dari Tuhan itu? Karena terbiasa menganggap sepele atau karena tak terbiasa dengan keajaiban doa, kita memandulkan diri untuk belum bisa menerima. Kita masih terjebak dengan kriteria, standar, maupun syarat-syarat yang kita ciptakan.
Padahal maksud saya, pertama adalah mensyukuri dulu apa saja yang kita terima apapun bentuknya, berapa pun jumlahnya, sebesar apapun ukurannya. Siapa tahu bukan 'sesuatu' yang datang pertama itu yang akan menjadi bagian kita. Siapa tahu itu hanya batu lompatan, lorong pembuka, atau semacam ujian kecil bagaimana dengan sikap kita. Atau siapa tahu memang itulah rezeki dan jodoh kita. Tuhan telah menentukan semuanya. Jika saat ini kita menolak, kita hanya mengulur dan membuang waktu saja. Kita tak pernah tahu bahwa bisa saja segunung kebaikan ada di balik semua itu.
Untunglah, tak perlu lama untuk bisa mencerna maksud teguran saya. Sahabat-sahabat saya segera menyadari dan mereka berniat memperbaiki sikap dan pikiran mereka.
Tak berapa lama, sahabat saya yang lain mematung lama ketika saya sadarkan, "Bukankah selama ini kamu berdoa untuk mendapatkan jodoh segera? Tapi mengapa ketika ada pria yang ingin memperisteri kamu, kamu tolak?" Sahabat saya yang satu ini tiba-tiba saja dikejutkan oleh lamaran seorang sahabat lamanya. Namun karena beberapa kriteria, sahabat prianya ini tak masuk dalam nominasi untuk menjadi calon suami bagi dia.
Begitulah. Kita berdoa dan Tuhan menjawab. Namun seberapa jauh kita menilai jawaban-jawaban dari Tuhan itu? Karena terbiasa menganggap sepele atau karena tak terbiasa dengan keajaiban doa, kita memandulkan diri untuk belum bisa menerima. Kita masih terjebak dengan kriteria, standar, maupun syarat-syarat yang kita ciptakan.
Padahal maksud saya, pertama adalah mensyukuri dulu apa saja yang kita terima apapun bentuknya, berapa pun jumlahnya, sebesar apapun ukurannya. Siapa tahu bukan 'sesuatu' yang datang pertama itu yang akan menjadi bagian kita. Siapa tahu itu hanya batu lompatan, lorong pembuka, atau semacam ujian kecil bagaimana dengan sikap kita. Atau siapa tahu memang itulah rezeki dan jodoh kita. Tuhan telah menentukan semuanya. Jika saat ini kita menolak, kita hanya mengulur dan membuang waktu saja. Kita tak pernah tahu bahwa bisa saja segunung kebaikan ada di balik semua itu.
Untunglah, tak perlu lama untuk bisa mencerna maksud teguran saya. Sahabat-sahabat saya segera menyadari dan mereka berniat memperbaiki sikap dan pikiran mereka.
Comments
http://www.debt1consolidation.com