Seorang sahabat sedang kalut. Niatnya untuk menikah dengan pujaan hatinya sudah di ubun-ubun. Namun sang bunda tak memberi restu dengan sederet alasan. Sahabat saya yang lain tiba-tiba jatuh cinta. Mama tercinta tiba-tiba mengibarkan bendera merah. Pilihan hatinya tak disetujui.
Mengapa Ibu-ibu kita selalu ikut campur dengan urusan pribadi anak-anaknya, ya? Apakah karena beliau-beliau ini merasa telah melahirkan dan membesarkan lalu merasa punya hak untuk melarang ini dan itu?
Suatu ketika saya berpacaran dengan seorang gadis yang berbeda keyakinan. Ibu saya baik-baik saja dengan dia. Menjalani hubungan itu, saya merasa tenang karena baik dari perkataan maupun perilaku, Ibu saya tak menunjukkan penolakan. Namun ketika hubungan kasih saya putus dengan gadis itu lalu saya memberitahu Ibu, Ibu bilang: "Oh, syukurlah." Dari penjelasannya, saya paham betul isi hati dan kepala Ibu. Ibu tak keberatan saya atau anaknya lain berpacaran dengan siapa saja. Namun Ibu tak akan pernah setuju pada pernikahan anak-anaknya yang menganut silang keyakinan.
Ibu 'melihat' apa yang tak kita lihat, selama cinta itu membutakan. Ibu merasa apa yang tak kita rasa. Karena kita tak sedang bersaing dengan Ibu, mengapa kita tak berdialog saja, dengan kepala dingin, hati bening, dan prasangka baik.
Pada kedua sahabat saya di atas, saya sempat berpesan. "Cinta itu harus diperjuangkan. Jika kamu merasa layak untuk mencintai dan dicintai dia, kejar terus. Namun gunakan akal sehat. Ibu bukanlah pihak yang harus dikorbankan demi mencapai cita-cita cinta kamu."
Comments