Skip to main content

Mereka-reka Resolusi


Sudah buat resolusi untuk tahun depan? Saya sedang mereka-reka. Mau ini, mau itu. Pingin ini, pingin itu. Banyak sekali. Mulai dari yang besar-besar, sampai yang kecil-kecil.

Ah, saya ingin bisa main gitar. Bisa main gitar, kayaknya sedap sekali. Belajar sendiri ternyata bukan type saya. Perlu ada yang supervisi. Supaya disiplin dan tertib. Tiga atau empat tahun lalu saya pernah masuk kelas musik, gitar klasik. Tapi membosankan. Bukan klasiknya, tapi sistem pengajarannya. Bayangkan, kelas hanya berlangsung tiga puluh menit per sesi. Baru mulai sudah habis waktunya. Lalu berhenti.

Kini saya mulai lagi belajar. Mengundang guru ke rumah. Seminggu tiga kali selama satu jam, yang gombrang-bambreng langsung memainkan lagu! Sedikit teori, praktek banyak. Iyalah. Saya kan tidak bercita-cita jadi pemusik. Sekedar ingin bisa saja. Maklum dulu waktu saya kecil, banyakan main di sawah dari pada belajar gitar.

Resolusi lain, ada. Tapi tak ingin saya tulis di sini. Tentu saja sesuatu yang serius dan saya komit untuk mewujudkannya di tahun depan.

Terakhir, saya ingin mendaftarkan diri untuk bisa menunaikan ibadah haji bersama istri. Biar tahun berikutnya masuk dalam kuota pergi ke Mekah. Semoga dimudahkan dan dikabulkan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.