Skip to main content

Pergilah ke Selatan

Jika ada undangan untuk melakukan perjalanan ke arah selatan ambil kesempatan itu, kata saya suatu ketika pada seorang sahabat. Untuk apa? Akan ada apa? Mengapa selatan? Mengapa saya? Saya sudah bersiap dengan sederet pertanyaan balik yang mungkin akan diajukan oleh dia. Tapi dia sama sekali tak mengajukan pertanyaan. Ia hanya bilang, ya. Saat ini dia punya rencana ke sebuah tempat di selatan yang sedang dipertimbangkan untuk dia ambil.

Tentu saja saya tak tahu dengan segala rencana sahabat saya itu untuk pergi ke sana-sini karena ia tak melulu memberi laporan, kecuali ia ingin merubah jalan hidupnya. Maka sejak beberapa saat lalu, saya mencoba 'mengarahkan' dengan mengandalkan rasa keenam yang saya miliki secara tiba-tiba ini.

Memotong rambut, tak melakukan kebiasaan yang sama, pergi ke suatu arah tertentu, memperbaiki hubungan dengan ibu, berdamai dengan saudara kandung, merupakan petunjuk-petunjuk yang kadang saya terima untuk mengarahkan sejumlah sahabat agar melakukannya.
Karena mereka meminta, saya membantu. Mau dijalankan silakan, tidak pun tidak masalah. Tokh saya tak perlu bertanggung jawab dengan hidup mereka. Namun tentu saja saya sangat peduli jika mereka sungguh-sungguh demi melakukan perubahan dalam hidup mereka.

Beberapa sahabat telah mendapatkan kemajuan: berani bersikap, berani bermimpi lagi, mengubur masa lalu, memutuskan hubungan yang tak jelas, mendapatkan kekasih baru, dilamar, memperbaiki hubungan dengan orang-orang terdekat mereka... Alhamdulillah.

"Pergilah ke selatan. Sesuatu mungkin terjadi, jawaban atas doa-doamu,untuk menemukan pendamping hidup."

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.