Skip to main content

One Person, Multiprofession

Butuh sebuah keberanian dan kedekadan ketika saya memutuskan berhenti dari sebuah pekerjaan yang telah memberikan karir dan beragam fasilitas. Saat itu saya sedang tertarik meditasi. Begitu merasuknya ajaran dan laku meditasi membuat saya kehilangan obsesi akan duniawi. Alam bawah sadar saya bertualang ke rongga-rongga misteri alam semesta.

Saya lalu belajar mendengarkan hati. Bekerja untuk kedamaian, untuk hati. Kaya miskin bukan patokan. Saya ingin mencapai puncak spiritual. Indah sekali proses menuju sana. Namun rupanya, dalam pergulatan menuju 'puncak' yang saya harapkan sesuatu terjadi. Saya mengalami pergolakan iman yang mahadasyat hingga akhirnya saya memilih kembali ke ajaran yang diwariskan oleh keluarga dan kekampung.

Namun saya merasa lebih siap dengan segala kondisi sekarang.

Kembali ke soal karir dan pekerjaan, sepertinya saya terus terlanjur 'mendengarkan' hati bicara. Sampai pada suatu titik, saya memilih untuk menjadi pengajar saja. Saya sadari saya akan kehilangan banyak pemasukan keuangan. Namun saya pasrah. Saya hapus kekuatiran. Saya yakin, Tuhan akan terus bersama saya.

Muda, banyak energi, kreatif, banyak ide. Itulah saya. Saya memulai hidup baru dengan 'terserah', biar Tuhan yang mengarahkan. Makanya saya tak mau putus meminta petunjuk-Nya. Maka ketika kepasrahan begitu lekat, Tuhan telah memilihkan hal-hal baik untuk saya. Satu per satu pekerjaan di luar pekerjaan utama saya mengajar, datang silih berganti. Alhamdulillah.

Kini saya menjalani minimal tiga profesi sekaligus: dosen, photographer, dan event architect. Saya mengajr di sejumlah universitas, ada yang pagi, siang, sore, bahkan malam. Saya menjadi tukang foto saat Sabtu dan Minggu. Di sela-sela waktu antara Senin dan Minggu, saya jungkir balik merancang beraneka event untuk perusahaan hingga untuk pesta perkawinan. Amat menggairahkan.

Tak ada yang lebih menggairah karena semuanya adalah nyawa buat saya sekarang. Mengalir. Kelak, mungkin profesi yang menjadi hanya dua atau justru malah empat atau lebih, biarkan saja. Selama saya punya kemampuan dan passion. Yang pasti, saya akan menghindari hal-hal yang bukan bidang saya.

Satu hal yang saya sadari, bukan saya yang memilih pekerjaan-pekerjaan itu, tapi pekerjaan-pekerjaan itulah yang memilih saya.

Well, saya sudah memulai. Bagaimana dengan Anda?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.