Skip to main content

Waktu Saya Tak Lagi Banyak

Semoga apa yang akan aku lakukan hari ini dan segala sesuatu yang telah aku siapkan untuk hari ini, Engkau ridhoi dan akan bermanfaat. Hindarkan aku dari kesia-siaan, ya, Allah. Begitu kira-kira sepotong doa yang saya haturkan suatu pagi.


Iya, saya harus ke luar kota untuk melakukan presentasi, menjual ide kegiatan, yang adalah salah satu pekerjaan saya terakhir ini. Karena hanya ke Banten, maka tak perlu menginap. Resikonya saya mesti berangkat sangat pagi agar sejumlah meeting yang telah dirancang di provinsi baru itu bisa semua terjadi.


Alhamdulillah, pertemuan-pertemuan itu berjalan mulus meskipun hasilnya entah bagaimana. Tak perlu saya risaukan sekarang, bukan? Terpenting adalah saya sudah berikhtiar. Urusan berhasil atau tidak atau hasilnya bagaimana, biarkan semesta yang bekerja.


Setiap hari kita melakukan sesuatu, banyak malah. Ada yang rutin, ada yang sekali-sekali saja. Ada yang berupa kewajiban, ada yang untuk senang-senang. Ada yang dengan senang hati kita melakukannya, ada yang terpaksa.


Dari setiap hal yang kita lakukan, ada yang kita harapkan selalu harus berhasil. Kali lain mungkin kita bersikap jika berhasil syukur tidak berhasil juga tak masalah. Ada yang mungkin justeru kita harapkan apa yang kita lakukan jangan sampai menghasilkan. Ekstrim memang.


Ketika menyadari usia makin hari makin menua, saya sadar. Waktu yang saya miliki tak banyak lagi. Waktu yang tersisa sedikit ini, ingin sekali hanya hal-hal berguna saja yang saya lakukan. Berguna bagi saya, bagi keluarga, bagi orang lain.


Mungkin sudah bukan saatnya lagi saya membiarkan waktu menyublim tanpa guna. Saya harus tetap awas. Apapun yang saya lakukan mesti punya alasan. Tak harus selalu menghasilkan secara instan dengan hasil memuaskan memang. Setidaknya, secara sadar saya perlu mengindari perbuatan-perbuatan yang sia-sia.


Kesadaran saja kadang tidak cukup. Untuk itulah saya selalu mengandalkan kekuatan semesta agar saya bisa tertib: sehari saya bisa menonton tiga hingga empat judul DVD. Bermanfaatkah? Harus bermanfaat. Bisa dua hingga tiga jam saya keliling sebuah pusat perbelanjaan. Bermanfaatkah? Harus bermanfaat. Begitulah, bahkan dari hal yang terkesan membuang waktu saja harus bisa memperkaya bathin dan intelektual saya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.