Seorang sahabat suatu ketika tergopoh-gopoh minta bantuan. Dia sedang merintis karir menjadi freelancer. Bantuan yang dia minta adalah sebuah proposal produksi film. Karena saya punya kemampuan di sana, saya siapkan. Katanya, dia akan mengajak saya dalam projek itu. Bagi hasil. Alhamdulillah. Saya bersukur ada orang yang mempercayai saya dan saya bersedia dengan segala pamrih tentu. Karena kami bicara bisnis, yang saya harapkan tentunya adalah pemasukan materi dan peluang-pelung non materi.
Belum jelas nasib proposal pertama, datang lagi peluang baru dari sahabat saya ini. Saya diminta membuat proposal untuk sebuah event. Lagi-lagi karena saya bisa dan biasa membuat hal demikian, tapi kesulitan saya bisa melakukannya.
Sekian minggu berlalu, kedua proposal saya tak jelas kabarnya. Pernah saya tanya, kata sahabat saya, masih dalam proses presentasi. Saya sabar dan maklum. Berurusan dengan klien memang terkadang sangat sulit dan bertele-tele.
Suatu hari saya mendapat kabar dari seorang sahabat lain, kedua projek yang fondasi konsepnya saya yang buat itu sudah selesai terselenggara dengan mengajak pihak lain. Saya melongo.
Luar biasa sedih. Seorang sahabat yang selama ini saya hargai dan hormati, berani melakukan kecurangan. Sungguh saya pilu. Bagaimana saya bisa memberinya kepercayaan lagi? Saya tak iri dengan rezeki yang dia dapatkan. Tapi mestinya ada cara elegan yang bisa dia lakukan untuk mengabari saya jika ternyata dia tak jadi bekerja sama dengan saya. Tapi kalau dilihat lebih fair lagi, begitu di awal dia komit untuk menjalin hubungan kerja sama dengan saya, dia mesti terus memegang komitmen itu.
Padahal, di luar projek-projek itu, hubungan kami sangat baik. Komunikasi juga sangat lancar. Jadi sepertinya tak ada masalah yang terlihat. Kecuali dia punya alasan lain. Ah, ada-ada saja.
Tapi insyaallah saya sudah memaafkan. Hanya, tak mudah untuk memberikan dia peluang lain. Enough is enough.
Comments