Skip to main content

Here Comes the Baby
















Saya melongo bengong. Dalam hitungan detik saya harus membuat sebuah keputusan yang sangat besar. Dua nyawa ada di tangan saya! Tensi darah istri saya mencapai 198/90. Kata dokter itu sangat tinggi dan sangat beresiko jika diabaikan. Penjelasan dokter mengenai berbagai resiko itu membuat saya seolah tercerabut dari dunia nyata. Hampir tak percaya hal demikian saya hadapi sendiri. Sabtu sore itu mestinya kontrol kandungan seperti biasa. Memasuki minggu ke 33 pemeriksaan sudah mulai dua minggu sekali dari sebelumnya satu bulan sekali. Setiap kali ada apa-apa, dokter sudah mengingatkan. Pemeriksaan yang biasa itu menjadi luar biasa karena perkembangan terakhir yang mencemaskan. Istri saya malam itu langsung masuk perawatan. Bahkan harus diopname. "Besok jam 8 pagi, bayi harus dikeluarkan!" Pernyataan dokter membuat saya tak bisa berkata banyak.

Setelah subuh, dokter membuat berita yang mengagetkan lagi. Operasi harus dipercepat. Jadual yang tadinya dibuat jam 8 menjadi jam 7. Saya ingit panik, tapi tak bisa. Saya ingin linglung, tapi tak bisa. Belakangan saya sadar, saya sudah sangat pasrah sejak pertama saya tahu keadaan begitu. Alhamdulillah, saya bisa tenang. Apalagi dukungan datang juga dari keluarga dan sejumlah sahabat.

Bahkan belum masuk bulan ke sembilan. Tapi saya yakin Tuhan punya rencana mengapa bayi harus hadir lebih cepat. Insyaallah semua akan baik. Maka tepat jam 7.12 bayi berhasil dikeluarkan melalu cesar. Pertama kali melihat si jabang bayi, setelah beucap syukur saya masih sempat bertanya dalam hati: is this my son?

God, I am a father now. Terima kasih untuk amanah yang indah ini, Tuhan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.