Skip to main content

Ketika Tokoh-tokoh Negara Wafat, Kemana Megawati?

Megawati sama sekali tidak menunjukkan belasungkawa ketika Soeharto meninggal dunia. Padahal hampir semua elemen bangsa muncul ke permukaan sekedar untuk mengekspresikan penghormatan terakhir pada mantan presiden itu. Megawati sepertinya belum menyembuhkan luka hatinya atas perbuatan Soeharto di masa lampau kepada Bapaknya. Padahal Soeharto telah berbaik hati tak menyeret Soekarno ke pengadilan.
Saat Sophan Sophian wafat pun, Megawati menenggelamkan diri. Kita tahu bagaimana Sophan pernah mendukung Megawati di partai kepala banteng. Padahal presiden kita yang sedang menjabat saja menyisihkan waktu untuk hadir. Lagi, Megawati belum menyembuhkan luka hatinya karena Sophian pernah bersebrangan prinsip dengannya.

Pemimpin adalah simbol. Ia perlu pura-pura tersenyum meskipun hatinya sedih dan marah. Pura-pura legawa meskipun kalah dan berdarah-darah. 

Mega tak pernah mau menyembuhkan luka hatinya. Ia bawa luka hatinya dari masa ke masa, dari jaman ke jaman. Bahkan, kini ia mencalonkan diri untuk menjadi calon presiden pun sesungguhnya sekedar untuk menunjukkan bahwa ia punya luka. Lukanya sangat dalam hingga penuh dendam. Ia tak rela telah dikalahkan. Ia ingin menjadi presiden bukan untuk menyelamatkan bangsa, tapi sekedar untuk menunjukkan ia lebih kuat dari yang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.