Skip to main content

Anak yang Berjanji Membimbing Bapaknya Sholat

Saya mampir ke rumah seorang kerabat yang sedang sakit. Sakitnya sudah lama, tapi baru-baru itu saja lebih parah dari biasanya hingga tak sanggup lagi bangun dari tempat tidur. Sakit, tapi kelakukannya kian hari kian menyebalkan, begitu keluh istrinya. Serba salah melayaninya. Kepada sang istri, saya berpesan untuk sabar.

Saya menyaksikan sosok tua yang terbaring dengan tidak nyaman. Nafasnya satu-satu, gerakan badannya terkesan penuh kesakitan. Di usianya yang mungkin lebih dari 60 tahun, dia masih mengenali saya. Saya duduk di sebelahnya, mengecup keningnya. Semilir pesing masuk ke hidung. Sang istri lalu bercerita tentang keseharian mereka setelah sang suami terbaring termasuk dengan ketakberdayaannya.

"Masih suka sholat?" tanya saya menyelak. "Boro-boro. Disuruh istigfar saja marah-marah", jawab istrinya. Masih pukul 4 pm. Saya berbisik kepada si sakit untuk mau saya ajak sholat ashar. Saya berbisik, "Takutlah pada kematian. Karena kematian tanpa iman yang cukup akan sangat menyakitkan. Sholat, ya?" Dia mau. Lalu saya memanggil kedua anaknya untuk membantu membasuhkan wudhlu dan membimbingnya membacakan ayat-ayat. Alhamdulillah selesai, meskipun dengan kondisi yang darurat.

Sebelum saya pamit, saya meminta kedua anaknya untuk berjanji sebisa mungkin mengajak sang bapak sholat setiap kali waktunya datang. Jika beliau rewel, paksa saja. Mereka mengiyakan. "Ini kesempatan terbaik kalian untuk mengabdi."

Beberapa hari kemudian, saya mendapat kabar, lelaki tua itu telah dipanggil Pencipta-nya. Saya lalu teringat pada kedua anaknya yang telah berjanji menolong tiap kali waktu sholat tiba. Semoga itu dilaksanakan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.