Skip to main content

Kematian Itu Datang Malam Tadi

Saya terdiam ketika suatu pagi mendapat kabar tentang kematian seorang sahabat. Beberapa detik saya membayangkan wajah sehat Tita (bukan nama sebenarnya). Masih 30-an tahun. Masih muda untuk meninggalkan sebuah tugas besar mendampingi kedua orang anaknya yang masih kecil-kecil.

Kabar meninggalnya Tita sesungguhnya tak begitu mengagetkan sejak saya dengar kondisi kesehatan dia yang memburuk selama beberapa tahun terakhir karena kanker. Satu hal yang sangat saya ingat, ketika saya menjenguknya di rumah sakit, dia tampak segar atau mungkin 'disegar-segarkan' untuk menyambut kedatangan saya dan para sahabat lain. Sekitar tiga puluh menit kami di ruangannya sampai satu per satu pamit pulang karena jam besuk nyaring mengusir semua pengunjung. Wajahnya lelahnya tiba-tiba menyergap. Saya memilih bertahan hingga tak seseorang pun berada di sana, kecuali suaminya. Dia mendadak jadi sendu dan putus asa.

"Agama kamu apa?", tanya saya setelah beragam omongan dukungan bagi kesembuhan dia. Saya patut bertanya karena walaupun saya tahu suaminya beragama apa, tapi tidak dengan dia. Kawin campur biasanya membuat salah satu dari pasangan perlu mengganti keimanan.

Dengan berbisik dia menyebutkan agamanya. Takut terdengar sang suami. Saya melanjutkan, "Kita tak pernah tahu kapan ajal menjemput. Tapi sebelum itu tiba, pastikan kamu punya keyakinan. Semoga kamu diberi kesempatan untuk bertobat." Mungkin saya sangat lancang bicara tentang ajal dengan seseorang yang sedang dying. Tapi mungkin sebetulnya tepat juga. Karena ketika kita lemah, sering kali kita lengah.

Kebetulan saya sedang berkalung tasbih saat itu. Saya menghadiahkan itu untuknya. Dengan cepat ia merebut untaian biji kering itu ke balik selimut. "Jangan takut pada siapapun, kecuali pada Allah. Selamatkan dirimu."

Sepulang dari menjenguk, saya berdoa semoga sahabat saya memberi dukungan kepada istrinya untuk memilih iman yang diyakininya. Saya juga berdoa agar Allah memberi kesempatan kepada Tita untuk berani lagi bersyahadat.

Kini Tita sudah berpulang. Semoga Allah masih berkenan menolongnya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.