Skip to main content

Pilkada Bogor: Jika Kelak Ki Gendeng Pamungkas Jadi Walikota

ki gendeng
Ki Gendeng Pamungkas yang selama ini kita kenal sebagai dukun santet (Setidaknya, menurut dia), mencalonkan diri untuk menjadi calon walikota Kota Bogor. Dia adalah satu dari lima calon yang saat ini sedang gencar-gencarnya berkampanye menarik simpati warga Bogor.

Kondisi perpolitikan tanah air memang membuat siapa saja sekarang bisa mendaftarkan diri jadi pemimpin daerah. Asal punya uang dan mengikuti prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh KPU/KPUD.

Di tengah krisis kepemimpinan, bisa saja masyarakat Bogor kangen figur pemimpin alternatif sehingga munculnya Ki Gendeng memang dianggap tepat.Ki Gendeng tak akan korupsi. Karena jika ini dilakukan, kesaktiannya akan hilang. Ki Gendeng akan selalu bicara jujur, kecuali jika untuk membela diri. Dia seorang marketing dan PR yang hebat. Buktinya, selama ini dia membuat namanya terkenal ke penjuru dunia. Memasarkan kota Bogor antuk go global akan menjadi hal yang mudah baginya.

Lalu saya berkhayal hal-hal yang seru apa jadinya Bogor jika ternyata beliau dipilih oleh mayoritas warga Bogor untuk menjadi seorang Walikota. Apakah Bogor akan menjadi Magic City?

Kelebihan angkot yang selalu menjadi momok, akan disulap menjadi kelebihan 9 bahan pokok, pedagang kaki lima yang biasa membandel akan disihir menjadi patung dan pegawai pemkot yang malas melayani masyarakat akan dikutuk jadi talas Bogor.

Sekolah sihir semodel Hogward School tempatnya Harry Potter menuntut ilmu akan didirikan. Jangan heran jika nanti anak-anak muda berseliweran di angkasa Bogor bermain kucing-kucingan dengan mengendarai sapu lidi yang bebas polusi dan anti BBM. Di tengah Kebun Raya Bogor mungkin kelak akan dibangun lapangan olah raga quiddich juga.

Kekuatiran saya juga ada. Dinamisme dan mungkin animisme akan berkembang. Selama ini kita tidak pernah tahu apakah Ki Gendeng seorang ustadz atau penganut aliran tertentu. Jika Muslim, tentu tak akan pernah bangga menepuk dada mengklaim dirinya sebagai ahli santet.
[photo dari Getty Image]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.