Skip to main content

Sebagus Apa, sih, Laskar Pelangi?

Sepertinya film 'Laskar Pelangi' sedang digandrungi orang dimana-mana. Presiden SBY saja nonton. Sayang gak pake beli karcis. Seorang sahabat sampai menonton lebih dari satu kali. 

Sebagus apa, sih, film yang disutradarai oleh Riri Reza itu? Haruskah saya menontonnya? Saya mencoba mengingat-ingat film terakhir yang saya tonton: Denias? Ah, itu kan sekian tahun lalu! 

Saya bukan anti film lokal. Cuman ingin menghindari kritikan diri sendiri saja. Saya penggemar film. Sangat tinggi tuntutan saya terhadap mutu sebuah karya. Saya akan mengomentari cerita, acting para pemain, pemilihan actor/actrees, tata suara, tata lampu, ini itu... Makanya kalau menonton film yang dibuat asal, suka capek sendiri.
DSC01966 bioskopFilm Indonesia sedang menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Pecinta film barat akan kecewa dengan fenomena ini. Dari empat buah studio yang dimiliki suatu bioskop, bisa tiga bahkan semua studio memutar film dalam negeri. 

Mungkin ini menunjukkan bangkitnya perfilman Indonesia yang pernah mati suri. Kini, hampir setiap minggu, ada saja film yang diluncurkan. Tema yang ditawarkan pun beragam sehingga penonton memiliki pilihan sesuai selera. 

Kebangkitan film Indonesia perlu kita dukung. Namun, sebaiknya juga para pembuat film harus menunjukkan tanggung jawabnya untuk hanya membuat film-film yang berkualitas.

So, haruskah saya pergi ke bioskop untuk menonton Laskar Pelangi?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.