Skip to main content

Mengabdi adalah Perjuangan Sepanjang Masa

Rencananya, saya akan menjadi dosen pegawai negeri. Secara tidak resmi, saya sudah mendapat kabar kalau saya lolos semua tes. Pengumuman resminya, akan dilakukan oleh Diknas akhir November ini. Ada sebuah perasaan yang terus mengganggu. Jika betulan saya diterima, artinya saya harus berkomitmen hingga masa pensiun untuk terus mengabdi di satu institusi. Hal yang sebelumnya sangat saya hindari berlama-lama di suatu tempat. Menjadi pegawai negeri adalah komitmen terbesar kedua saya setelah pernikahan.

Mungkin itu kenapa orang-orang yang bekerja pada sebuah departemen, di mata saya, adalah orang-orang yang sangat tertutup. Mereka tidak memiliki benchmark sehingga mungkin merasa bahwa pekerjaan dan lingkungannya ini adalah yang paling baik dan bener. Sedikit pengalaman yang saya alami, belum lama saya dilibatkan dalam sejumlah kegiatan non-mengajar. Aroma ketertutupan sudah tercium. Saya sampai terkaget-kaget. Bahkan saya mengklaim bahwa saya terkena schock culture. Lebih dari sepuluh tahun saya bekerja di sektor swasta, dunia kerja yang dinamis dan sangat terbuka. Dunia yang sangat berbeda dengan lingkungan departemen. Pada iklim swasta, saya bisa berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain dengan berbagai alasan.

Bukan untuk mundur. Namun sepertinya saya harus betul-betul menekan ego ke titik nol untuk menghindari konflik dan menjunjung keikhlasan. Saya rasa bisa. Saya perlu mengingat bagaimana saya pasrah menjalani hari-hari pertama pernikahan hingga bisa bertahan sampai sekarang. Mungkin hal sama perlu saya lakukan ketika saya memasuki gerbang kepegawainegrian ini. Apapun sistemnya, apapun yang dilakukan oleh rekan kerja lain, apapun resiko yang menantang, saya hanya perlu ikhlas menghadapi dan menjalani. Mengabdi adalah perjuangan sepanjang masa.

Tuhan, ijinkan saya menjalani semua ini dengan penuh kebaikan.

Comments

celotehcomel said…
Salam
menjadi pegawai negeri itu seperti bekerja dgn kerajaan ke?

semoga sukses selalu...
Anatomi Angin said…
pegawai negeri, berarti pegawai government. sorry for belated respond. :)

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.