Skip to main content

PSA Depag: Jarak Indonesia-Arab Saudi Makin Jauh?

Iklan layanan masyarakat yang dikeluargkan oleh Departmen Agama yang kearap diputar di televisi akhir-akhir ini saya rasa membingungkan. Jarak Indonesia ke Arab Saudi saya rasa hingga kapanpun tak akan pernah berubah. Setidaknya, tiga kali ungkapan jarak disebut pada iklan tersebut: "Jarak semakin jauh, harga semakin mahal". Kecuali jika 'jarak' yang dimaksud adalah bukan pengertian sebenarnya satu tempat ke tempat lain. Tapi lebih kepada 'jarak hati' antara keinginan dengan tindakan. 

Harga makin mahal memang iya. Tapi mestinya juga jika dihitung jujur, harga yang berlaku tak akan semahal itu. Apalagi jika dilihat dari pelayanan yang didapat oleh jemaah haji Indonesia selama di sana, tak sebanding dengan harga yang dikeluarkan. Beberapa waktu lalu, ada pihak independen yang mencoba menghitung setiap variabel harga yang sebelumnya telah ditentukan oleh Departemen Agama. Nyatanya, memang telah terjadi penggelembungan harga untuk setiap variabel yang disebutkan. Saya jadi teringat sebuah artikel koran, konon katanya departemen yang apling korup di negara kita adalah Departemen Agama. Padahal mestinya 'jarak' yang paling dekat antara Tuhan dengan departemen-departemen adalah Departemen Agama. Karena banyak orang 'suci' di sana.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.