Skip to main content

NPWP: Jebakan Batman?

Dirjen Pajak mengiming-imingi masyarakat dewasa Indonesia agar mau mendaftarkan diri mereka sebagai wajib pajak. Maka hadiahnya, sejak awal tahun 2009, mereka yang sudah memiliki NPWP, boleh tidak membayar fiskal jika hendak berpergian ke luar negeri. Asyik.
Dengan menggratiskan fiskal, apakah pendapatan Dirjen Pajak akan berkurang? Sedikit. Iyalah. Hitung saja, berapa persen orang Indonesia yang mengadakan perjalanan ke luar negeri setiap tahunnya? Namun gimmick ini sepertinya berhasil menyeret banyak pendaftar baru walaupun tetap saja, Dirjen Pajak mengaku tidak mendapatkan jumlah pendaftar sesuai target. Gagal, dong? Tentu. Lantas pemerintah mengeluarkan Perpu darurat yang kontroversial untuk memperpanjang waktu pendaftaran. Good-lah.
Tanggal 1 Januari sudah lewat dan kita punya testimonial dari sejumlah orang yang mendapat pengalaman bayar fiskal Rp 0 ketika hendak bepergian ke luar negeri. Maka, lagi-lagi sejumlah pendaftar baru tersedot untuk mendaftar. Semoga kali ini berhasil mengumpulkan angka sesuai yang ditargetkan.
Melihat kasus ini, saya menilai bahwa Penyelenggara Kebijakan Publik perlu belajar atau setidaknya bantuan dari para ahli komunikasi bagaimana agar biaya mahal yang dikeluarkan untuk sosialisasi program tidak percuma. Jadi tidak sekedar jor-joran memasang iklan 'sunset policy' di berbagai media, namun perlu strategi lain juga yang peka terhadap segala pertanda.
Saya pikir, jika pembebasan fiskal dilakukan beberapa bulan sebelum tutup tahun 2008, animo masyarakat untuk mendaftar sebagai wajib pajak akan lebih meluas dan banyak lagi. Selain itu, mestinya jangan sekedar pembebasan fiskal tapi ada hal lainnya juga. Pembebasan fiskal hanya menarik hati orang-orang yang pernah berpergian ke luar negeri. Bagi mereka yang tidak pernah, tidak akan tertarik sama sekali. Bahkan mereka sangat apriori dengan kegiatan lapor-melapor pajak ini.
Setelah gelombang pendaftar untuk mendapatkan NPWP usai, lalu apa? Mulai akhir Maret mereka akan wajib datang ke kantor-kantor pelayanan pajak, mencatatkan pendapatan mereka, membayar sekian persen (duh, rela, gak, ya?)... sambil berharap pemerintah bisa melayani mereka dengan lebih baik lagi dalam segala hal: KTP, SIM, Akte Kelahiran, Ijin Usaha... Jika tidak, mereka akan berhenti membayar pajak! Dijamin!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.