Skip to main content

Mpok Siti Tetap Sehat dan Bahkan Jadi Menteri Meskipun Minum Puyer

RCTI sedang getol manayangkan liputan tentang pro kontra penggunaan puyer untuk mengobati anak. Tayangan ini jadi polemik di masyarakat. Sebagian pro, sebagian kontra. Sebagian lain bingung. Apa yang RCTI harapkan dari tayangan yang bertubi-tubi ini?

Dalam ilmu komunikasi, ada istilah agenda setting, yaitu agenda yang diset oleh sebuah penerbitan untuk berbagai tujuan. Salah satunya adalah mempengaruhi para pengambil keputusan agar mau memperhatikan kasus ini sehingga turunnya sebuah keputusan. Untuk kasus ini, sepertinya RCT ingin mempengaruhi pemerintah, terutama menteri kesehatan, agar bertindak. Karena puyer dianggap banyak mubazirnya, ibu menteri Siti Fadilla seolah didesak untuk membuat keputusan agar para dokter anak di Indonesia tak lagi memberikan puyer terhadap pasien anak.

Tapi seperti yang kita tahu, sang menteri selalu tulalit dalam menangkap gejala polemik. Dia selalu bersebarangan dengan kepentingan masyarakat banyak. Senangnnya justeru menciptakan polemik baru. Dia menganggap puyer baik-baik saja. Malah katanya, waktu dia kecilpun diberi puyer. Hingga sekarang dia merasa baik-baik saja malah sekarang jadi menteri.

Sama halnya ketika sekian waktu lalu merebak kasus susu formula yang mengandung bakteri yang membahayakan bayi bayi. Saat negara lain melarang beredar merek-merek susu formula yang didapati mengandung bacteri..., ibu menteri kesehatan kita, meskipun sudah diingatkan oleh para ahli dari IPB dan menyertakan sejumlah merek, tetap tak bergeming. Ia menuduh IPB ditunggangi kepentingan Amerika.

Begitulah, kita punya menteri yang tak memiliki keperdulian terhadap keresahan yang melanda kesehatan masyarakat.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.