Skip to main content

Maastricht atau Perth?

Ceritanya, sejak setahun terakhir ini saya sedang in the mood untuk mencari sekolah lagi. Setelah menghubungi belasan professor dari berbagai universitas di dunia, berakhirlah pencarian saya itu pada program S3 dari dua kampus. Pertama, Edith Cowan University di Perth, Australia. Kedua, Maastricht School of Management di Belanda.
Sejujurnya, saya ingin sekali bersekolah di Eropa. Menurut saya, sistem pendidikan Eropa yang konvensional, sangat cocok dengan saya. Namun sejumlah sahabat mengingatkan bahwa justeru dengan sistem ini akan menyulitkan kita untuk mengikuti keinginan professor. Bisa-bisa, waktu perkuliahan menjadi sangat lama dari waktu yang direncanakan. Selain itu, dari berbagai sumber informasi yang berhasil saya himpun, kuliah di Belanda sangat sulit jika harus membawa keluarga. Padahal saya ingin sekali memboyong keluarga ke sana.
Dari semua hal yang saya bayangkan dapat menjadi kendala, sebenarnya, satu hal terpenting adalah untuk meyakinkan para pemberi beasiswa bahwa pilihan saya untuk memilih Belanda bukanlah hal yang keliru.
Pasrah. Itulah yang saya lakukan saat ini. Meksipun tetap saja gejolak keinginan tetap menggebu untuk tetap memprioritaskan Maastricht.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.