Skip to main content

Protes di Teheran





















Seorang sahabat, mengirim pesan melalui Facebook. Menanyakan apakah saya mengikuti demo-demo yang yang terjadi di Iran belakangan ini? Saya terpaku. Iya, di Iran, khususnya di Teheran sedang terjadi banyak demonstrasi. Saya tak begitu mengikuti. Hal yang saya tahu, mungkin benar, demo itu dipicu oleh ketidakpuasan warga Iran atas hasil pemilu yang menjadikan Mahmoud Ahmadinejad menang kembali sebagai presiden.

Apakah kejadian di Iran ini mengingatkan kita pada peristiwa tahun 1998 di Indonesia? Tanya sahabat saya lagi. Segera saya googling. Apakah segawat itu? Berita-berita luar negeri di koran dan TV yang mengudara di Jakarta sepertinya tak begitu mengkuatirkan. Begitu saya saksikan di youtube maupun blog-blog pribadi, betul saja. Kengerian sepertinya tumbuh dari penjuru ibu kota. Semua lapisan masyarakat turun ke jalan. Kebrutalan dan hiruk pikuk terjadi dimana-mana. Korban bergelimpangan. Kota chaos. Demo juga terjadi di luar Iran, seperti di Chicago.

Di Indonesia, demo dilakukan oleh masyarakat. Di Iran, semua warga. Di Indonesia, demo bisa menurunkan presiden, entah di Iran. Mana rela presiden terpilih turun dengan suka rela? Tapi entah juga jika parlemen menghendaki pemilihan ulang sementara hasil pemilu sebelumnya dianggap telah dicurangi oleh pihak Mahmoud Ahmadinejad.



[foto-foto dari internet]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.