Skip to main content

Akankah Saya Mendapat Beasiswa dari IDB?

Akhirnya undangan wawancara dari panitia beasiswa IDB (Islamic Development Bank) datang juga. Ada dua hari wawancara untuk dua kelompok dosen yang berbeda. Saya mendapat giliran hari pertama, Jumat.

Ternyata, tidak semua yang dipanggil benar-benar sudah siap dengan segala LoA dari unviersitas tujuan di luar negeri. Alhamdulillah, saya sudah punya. Bahkan 3! Australia, Belanda, dan Inggris. Favorit saya, tentu saja Inggris meskipun Belanda juga boleh. Australia? Hmmm, sejujurnya agak kurang asyik untuk dibayangkan, mengingat universitas yang saya tuju berada di Perth, Australia Barat, yang berdasar hasil browsing, tak terlalu indah untuk didatangi. Apalagi untuk 3 tahun!

Ada dua penguji, seorang bapak dan seorang ibu yang dengar-dengar mereka sudah sangat berpengalaman dalam mewawancara para kandidat penerima beasiswa. Saat wawancara, semua terkesan sangat smooth dan bahkan menyenangkan. Beda dari cerita-cerita dosen lain yang mendapat banyak 'sandungan' dari dua pewawancara ini. Sandungan pertama, kelengkapan dokumen. Mulai dari LoA, nilai IELTS atau TOEFL, proposal, dan tetek bengek lainnya. Lalu ada pula yang langsung dicoret karena berniat bawa keluarga dengan tiga orang anak dengan alasan biaya yang dipatok IDB tidak mencukupi.

Saya merasa perlu menjelaskan satu per satu universitas yang saya pilih. Maastrich School of Management itu seperti apa, Exeter University itu bagaimana, dan Edith Cowan University itu dimana. Berkali-kali mereka menegaskan bahwa beasiswa yang diberikan tidak akan banyak. Maka setelah membandingkan semua unsur biaya dari ketiga universitas itu, mereka setuju memilihkan Edith Cowan untuk saya.

Saya tak banyak cerita ke teman-teman dosen lain mengenai ini. Waktunya belum pas. Jadi, lulus, neh? Sepertinya. Melihat gelagat mereka, sepertinya saya bisa berangkat ke Australia dan mulai kuliah awal tahun depan. Dengan catatan, saya sudah harus di Perth awal November. Tapi entahlah. Saya ingin jika jadi berangkat nanti, tak ada sesuatu pun yang menghambat.

Beneran lolos dan lulus? Belum jelas juga, sampai benar-benar ada pemberitahun tertulis.









Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.