Skip to main content

Bye Bye Mega, Bye

Entah memang sudah kepribadian para capres dan cawapres, suka menyerang lawan. Saya melihat gelagat Megawati dan apalagi Prabowo, termasuk Jusuf Kalla. Semua berbondong-bondong mencari celah kekurangan SBY dan pasangannya. Kekurangan ini kemudian dijadikan materi propaganda yang mereka pikir dengan semakin banyak kelemahan SBY terbongkar akan meningkatkan simpati masyarakat.

Mereka lupa satu hal. Orang Indonesia memiliki belas kasihan yang luar biasa tinggi. Semakin diayaniaya, entah itu benar atau keliru, semakin orang ini akan mendapatkan dukungan. Megawati tak belajar dari pengalaman. Ibu kita ini, lima tahun lalu rajin sekali mengeluarkan energi sekedar untuk menjelekkan SBY. Kali ini diulang lagi. Hingga akhirnya mereka para penganiaya harus menyerah kalah.

Eh, sudah terbukti kalah pun (memang belum dilegimitasi) masih saja terus membuat pembenaran dan mencari kambing hitam. Seolah mereka yang dicurangi.

Saya sempat optimis, ketika SBY turun lima tahun lagi, pilihan saya akan jatuh pada Prabowo, the promising-up coming leader of Indonesia. Tapi sepertinya saya harus berpikir lagi. Perangai Prabowo yang cenderung kurang legowo menerima kekalahan dan kemasyuran orang lain, sangat disayangkan. Ia terlalu bernafsu menyalahkan orang lain. Tidak santun dan tak memiliki nilai ketauladanan sama sekali.

Masa mega sudah selesai. Seperti wayang, ia akan segera masuk kotak. Jusuf Kalla apa lagi. Semoga cita-citanya pulang kampung jika kalah, dapat segera terwujud. Sementara Wiranto harus segera bangun dari mimpi. Ia sama sekali tak punya destini di masa datang untuk duduk sebagai pemimpin negara. Prabowo? Please, deh.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.