Skip to main content

Akhirnya, Beasiswa Itu Datang Juga

Jumat lalu, 14 Agustus, kabar tentang siapa saja yang akan mendapat beasiswa dari IDB keluar juga. Bukan dari panitia IDB, tapi dari seorang sahabat yang kebetulan masuk juga dalam daftar itu. Hanya ada tiga nama, padahal target tahun ini sekitar 12 orang. Nama saya masuk. Alhamdulillah. Kemana yang lain? Mereka belum mendapat surat penerimaan dari universitas di luar negeri.

Memang susah mendapat surat penerimaan dari universitas di luar negeri? Menurut saya, mudah. Asal punya minat, nilai bahasa Inggris yang cukup, dan proposal riset. Beasiswa ini hanya untuk mereka yang sudah S2 untuk melanjutkan ke program doktoral dan terbatas hanya untuk dosen-dosen tetap di kalangan UNJ. Semudah itu.

Saya diterima di tiga universitas di: Australia, Inggris, dan Belanda. Maksud hati memilih universitas di Eropa, namun apa daya, dana yang ditawarkan tak terlalu banyak. Dari pada berdarah-darah banting tulang untuk bisa bertahan hidup di negeri orang padahal tugas kuliah saja pasti sudah menumpuk, mending pilih Australia yang lebih murah biayanya.

Jika tidak aral merintang, minggu terakhir Oktober saya berangkat. Awal November aktivitas kampus dimulai. Bismillah.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.