Skip to main content

Basil Suka Lego


Tidak seperti ketika bermain dengan mainan lainnya, Basil, anak saya yang baru berusia 17 bulan, sangat menyukai lego. Well, bukan lego aseli. Lego-legoan ini dibeli di pasar mainan anak daerah Prumpung, Jakarta Timur. Satu kantong harganya Rp 25,000. Berupa kubik-kubik kosong warna-warni yang bisa ditumbuk-tumpuk ke atas.

Saya perlu mengajari dulu awalnya, bagaimana menyusun lego. Terlihat frustasi dia karena tak juga berhasil mengaitkan satu kubik dengan kubik lainnya. Kalau sudah lama dicoba tapi tak juga menyangkut, dia akan rewel minta bantuan.

Lama-kelamaan, ketika hampir setiap hari disodori mainan tersebut dan sambil ditemani, diajari, dibantu, ia mulai menemukan pola bermainnya. Basil akan mengumpulkan kubik yang ukurannya sama dulu. Lama-kelamaan, ia mulai berani merangkai kubik yang lebih rumit.

Saya mengamati terus perkembangan Basil bermain lego. Sebuah proses belajar yang luar biasa. Saya melihat kesabaran, ketenangan, kesenangan. Bayangkan, setiap kali ia berhasil menyusun satu kubik, karena awalnya selalu saya beri tepuk tangan dan pujian, walaupun sedang bermain sendiri, ia akan tepuk tangan sendiri. Menggemaskan.

Lego mungkin memang mainan tepat untuk anak seusia Basil.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.