Skip to main content

Menginap di Hermina



Karena rasa kangen dan penasaran dengan sakitnya Basil, saya memutuskan untuk minta ijin ke luar karantina. Bagian dari syarat untuk mengikuti kegiatan ini, seluruh peserta harus bersedia diasramakan. Kecuali alasan-alasan tertentu yang sangat penting, kami dilarang ke luar area pusdiklat. Syukurlah, ijin saya disetujui oleh panitia Pra-Jabatan. Dengar-dengar dari beberapa peserta, jika dibandingkan dengan penyelenggara Pra-Jab di kota lain seperti Surabaya, pelaksanaan Pra-Jab di Sawangan ini jauh lebih longgar dari aturan yang mengikat. Jika memang begitu, baguslah.

Malam itu saya menginap di Hermina Jatinegara. Tiba di rumah sakit, Basil sedang tidur pulas. Lelap sekali. Dokter tak bilang sakit apa. Katanya hanya karena bakteri yang menyerang kekebalan tubuh Basil. Setelah periksa darah, lekosit tinggi, yang lain baik-baik saja. Rekan satu kamar saya selama di kegiatan Pra-Jab yang juga seorang dokter sudah membantu menjelaskan tentang kondisi Basil yang tak terlalu mengkuatirkan jika hasil temuan lab memang berbunyi seperti itu. Syukurlah. Tapi sungguh, saya melihat istri saya sangat kelelahan setelah berhari-hari mengurus Basil sendirian.

Sabar, ya, mih...

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.