Skip to main content

Rahasia Menerima

Apa yang kita terima dan tolak hari ini adalah jalan hidup kita berikutnya. Karena apa pun yang datang adalah janji untuk masa depan, apa pun bentuknya.

Padahal untuk bisa menerima, perlu sebuah ketrampilan yang luar biasa luhur. Kita pernah menolak sesuatu dengan alasan apa yang datang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Mungkin terlalu kecil, mungkin terlalu besar, mungkin terlalu buruk, mungkin terlalu baik. Kita berharap akan ada lagi yang datang. Bagaimana jika tak akan pernah ada lagi?

Dengan menerima apa pun yang datang sekarang, menunjukkan kelegaan dan rasa syukur. Bukankah rezeki memang seharusnya disyukuri?

Sahabat saya tidak jadi menerima pekerjaan yang dia lamar sendiri karena gajinya tak sesuai dengan yang diminta. Sahabat saya yang lain menghindari cinta seseorang yang yang tak cintai. Bagaimana dengan hal-hal demikian? Salahkah mereka menolak?

Tidak berprasangka. Pekerjaan adalah status, dulang dafkah, dan simbol perjuangan hidup. Ketika ditolak, kita seperti menolak rezeki itu sendiri. Maka yang ia jalani berikutnya adalah kepura-puraan hingga ia menemui pola hidup berikutnya yang seharusnya dia jalani dan ini perlu waktu yang tak pernah jelas kapan.

Tidak berprasangka. Cinta adalah tapak kaki yang mestinya tak hadir sendiri. Perlu dua, berpasangan. Kita ia ditolak, maka kembali, sebuah kepura-puraan yang sedang ia jalani.

Percayalah, menerima bukanlah hal buruk. Dibalik penerimaan itu, justeru di sanalah rahasia kebahagiaan hidup menunggu. Jujur saja, bukan gaji tinggi yang bisa membahagiakan, bukan? Sementara dicintai oleh orang yang tidak kita cintai hanyalah sebuah ujian kecil. Perlu diingat, hal itu bukan lantas pernikahan, kan? Itulah rahasia.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.